BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Merupakan suatu
kenyataan bahwa kebutuhan akan energi, khususnya energi
listrik di Indonesia, makin berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari
kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari seiring dengan pesatnya peningkatan
pembangunan di bidang teknologi, industri dan informasi. Namun pelaksanaan
penyediaan energi listrik yang dilakukan oleh PT.PLN (Persero), selaku lembaga
resmi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola masalah kelistrikan di
Indonesia, sampai saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan
energi listrik secara keseluruhan. Kondisi geografis negara Indonesia yang
terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan, tersebar dan tidak meratanya
pusat-pusat beban listrik, rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa
wilayah, tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi listrik
(Ramani,K.V,1992), serta terbatasnya kemampuan finansial, merupakan
faktor-faktor penghambat penyediaan energi listrik dalam skala nasional.
Selain itu, makin
berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak bumi, yang
sampai saat ini masih merupakan tulang punggung dan komponen utama penghasil
energi listrik di Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha
untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari
altematif penyediaan energi listrik yang memiliki karakter yaitu :
- dapat
mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil, khususnya
minyak bumi
- dapat
menyediakan energilistrik dalam skala lokal regional
- mampu
memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, serta
- cinta
lingkungan, dalam artian proses produksi dan pembuangan hasil produksinya
tidak merusak lingkungan hidup disekitarnya.
Sistem penyediaan energi
listrik yang dapat memenuhi kriteria di atas adalah sistem konversi energi yang
memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, seperti: matahari, angin, air,
biomas dan lain sebagainya (Djojonegoro,1992). Tak bisa dipungkiri bahwa
kecenderungan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumber-sumber daya
energi terbarukan dewasa ini telah meningkat dengan pesat, khususnya di
negara-negara sudah berkembang, yang telah menguasai rekayasa dan teknologinya,
serta mempunyai dukungan finansial yang kuat. Oleh sebab itu, merupakan hal
yang menarik untuk disimak lebih lanjut, bagaimana peluang dan kendala
pemanfaatan sumber-sumber daya energi terbarukan ini di negara-negara sedang
berkembang, khususnya di Indonesia.
1.2 Energi
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh
manusia membutuhkan energi. Energi disebut juga sebagai tenaga. Definisi energi
adalah kemampuan untuk melakukan usaha. Tindakan berangkat ke sekolah, mengayuh
sepeda, bermain, dan berolahraga memerlukan energi. Menurut wikipedia,
macam-macam bentuk energi yang dikenal dalam kehidupan manusia saat ini adalah:
1. Energi panas
Energi panas adalah energi yang dimiliki oleh benda
yang panas. Benda yang terbakar menghasilkan panas. Panas disebut juga kalor.
Panas merupakan salah satu bentuk energi. Lilin yang menyala dapat memutar
kertas spiral yang bergantung di atasnya. Hal tersebut membuktikan bahwa lilin
yang sedang menyala memiliki energi panas.
2. Energi bunyi
Energi bunyi adalah energi yang ditimbulkan oleh benda
yang mengeluarkan bunyi. Bunyi dihasilkan dari getaran. Bunyi kuat dihasilkan
dari getaran yang kuat. Contoh bunyi yang kuat adalah halilintar, petasan dan
bom. Bunyi yang kuat menghasilkan energi yang besar. Bunyi kuat dapat
memekakkan telinga, menggetarkan dan bahkan memecahkan kaca jendela.
3. Energi kinetik
Energi kinetik adalah energi yang dimiliki oleh benda
yang sedang bergerak. Contoh benda yang bergerak dan menghasilkan energi
kinetik antara lain kincir angin dan dinamo sepeda. Kincir angin dimanfaatkan
oleh manusia untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik. Sementara itu,
putaran roda sepeda mampu memutar dinamo sepeda dan menghasilkan energi listrik
untuk menyalakan lampu sepeda.
4. Energi potensial
Energi potensial adalah energi yang tersimpan dalam
suatu benda. Ketapel yang teregang mempunyai energi potensial. Energi tersebut
sewaktu-waktu dapat dilepaskan. Contoh benda yang memiliki energi potensial
selain ketapel adalah per yang teregang, busur anak panah yang teregang, dan
lain-lain. Energi potensial yang ada pada per disebut sebagai energi potensial
pegas.
5. Energi listrik
Energi listrik adalah energi yang tersimpan dalam
benda yang bermuatan listrik. Energi yang dihasilkan oleh arus listrik mampu
menjalankan motor listrik. Contohnya lampu listrik, kipas angin, seterika
listrik, dan pompa air listrik.
6. Energi cahaya
Kapas yang diletakkan di bawah lensa cembung yang
terkena sinar matahari dapat terbakar. Mengapa demikian? Karena cahaya matahari
yang dikumpulkan oleh lensa cembung dapat memanaskan kapas sampai terbakar.
7. Energi kimia
Energi kimia adalah energi yang tersimpan dalam bahan
kimia. Energi kimia terdapat dalam berbagai bahan kimia, seperti baterai, aki,
makanan, dan bahan bakar. Sebagian bahan kimia tersebut bisa digunakan untuk
menghasilkan energi listrik.1.3 Potensi Energi Nasional
1.3 Potensi
Energi Nasional
Terdapat beberapa anggapan yang keliru mengenai energi
di Indonesia diantaranya: 1. Indonesia adalah Negara yang kaya minyak, padahal
tidak. Kita lebih banyak memiliki energi lain seperti batubara, gas, CBM (Coal
Bed Methane), panas bumi, air, BBN (Bahan Bakar Nabati) dan sebagainya, 2.
harga BBM (Bahan Bakar Minyak) harus murah sekali tanpa berpikir bahwa hal ini
menyebabkan terkurasnya dana Pemerintah untuk subsidi harga BBM, ketergantungan
kita kepada BBM yang berkelanjutan serta kepada impor minyak dan BBM yang makin
lama makin besar serta makin sulitnya energi lain berkembang, 3. investor akan
datang dengan sendirinya tanpa perlu kita bersikap bersahabat dan memberikan
iklim investasi yang baik, 4. peningkatan kemampuan Nasional akan terjadi
dengan sendirinya tanpa keberpihakan Pemerintah.Potensi Energi Nasional 2010
(Sumber: ESDM 2011) diberikan pada Tabel 1 yang terdiri dari energi fosil
dan energi non fosil. Terlihat bahwa cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal
3,7 milyar barel. Justru, kita lebih banyak memiliki energi non
minyak. Tabel 1 Potensi Energi Nasional 2010.
Migas di
Indonesia
Indonesia memproduksi minyak sebesar 345 juta barel, mengekspor minyak mentah
sebesar 130 juta barel, mengimpor minyak mentah sebesar 103 juta barel dan
Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 124 juta barel pada tahun 2010 (Sumber ESDM
2011) dan mengkonsumsi 423 barel. Terdapat defisit sebesar 97 juta barel per
tahun. Cadangan terbukti minyak kita hanya 3,7 milyar barel atau 0,3 % cadangan
terbukti dunia. Sebagai Negara net importer minyak dan yang tidak memiliki
cadangan terbukti minyak yang banyak, kita tidak bijaksana apabila mengikuti
harga BBM murah di Negara-negara yang cadangan minyaknya melimpah.
Tabel 2 memperlihatkan Produksi & Cadangan, Revenue, Cost Recovery, R/C dan
Penerimaan Negara Migas (Sumber: BP Migas 2010). Dapat dilihat bahwa penemuan
cadangan minyak sedikit sekali mulai tahun 2003, Akibatnya, produksi kita turun
menjadi dibawah 1 juta barel per hari. Memang biaya (Cost Recovery) meningkat
dari tahun ke tahun berikutnya, tetapi Harga Minyak, Gross Revenue, Revenue to
Cost Ratio dan Penerimaan Negara juga meningkat dari tahun ke tahun berikutnya.
Tabel 2 Produksi & Cadangan, Revenue, Cost Recovery, R/C dan Penerimaan
Negara Migas
Cadangan dan produksi minyak yang turun tidak dapat diinterpretasikan dengan
minyak kita sudah habis atau prospek eksplorasi di Indonesia rendah, karena di
Malaysia telah ditemukan prospek Kikeh di laut dalam dengan cadangan 1 Milyar
BOE (Barrel of Oil Equivalent) sehingga laut dalam di Indonesia terutama selat
Makasar menjadi perhatian perusahaan-perusahaan raksasa. Proyek-proyek raksasa
LNG (Liquefied Natural Gas) di Australia yang sedang dikembangkan adalah Evans
Shoal, Gorgon, Ichthys, Pluto, Browse dan Bay Undan, sedangkan di Indonesia
hanya Tangguh. Perlu dicatat bahwa Australia termasuk low risk dan Malaysia
adalah medium risk. Informasi ini diperoleh dari Top 135 Projects yang
diterbitkan oleh GSRI, 2007.9 Tingginya resiko di Indonesia mengakibatkan
perusahaan-perusahaan migas hanya berkonsentrasi pada mempertahankan produksi
lapangan-lapangan yang sudah ada, akibatnya produksi turun. Perlu usaha untuk
memperbaiki keadaan tersebut degan mengundang investor guna meningkatkan
cadangan dan produksi migas di Indonesia.
Mengundang investor adalah seperti mengundang pelanggan untuk rumah makan.
Seseorang akan menjadi pelanggan apabila dia tahu, sehingga promosi
penting. Promosi saja tidak cukup karena pelanggan tersebut tidak akan datang
lagi apabila yang dipromosikan tidak sesuai dengan kenyataan. Rumah makan hanya
akan laku apabila makanannya enak, harganya bersaing, pelayanannya dan
lingkungannya baik.
Perlu Peningkatan Kualitas informasi untuk wilayah kerja yang ditawarkan,
dengan seismik serta studi geofisika dan geologi yang lebih baik. Harga
bersaing dapat dianalogikan dengan sistem fiskal yang menarik. Kontrak bagi
hasil dan Kontrak lainnya akan bermasalah apabila tidak dijiwai kemitraan
(partnership) atau pelayanannya tidak baik.
Perlu sistem
fiskal yang fleksibel dan lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko
kontraktor dengan memberikan Bagian Pemerintah atau GT (Government Take)
yang kecil untuk R/C (Revenue/Cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C yang
besar yang berlaku untuk minyak, gas dan CBM (Coal Bed Methane) supaya
Kontraktor lebih bersemangat untuk mengembangkan prospek perminyakan biaya
tinggi seperti daerah terpencil dan laut dalam, proyek EOR dan
lapangan-lapangan yang menengah dan kecil seperti di Malaysia dan Negara-negara
lain.
Pada masa lalu sistem fiskal yang Bagian Pemerintahnya tetap berapapun
keuntungannya tidak mempunyai masalah karena kegiatan-kegiatan dilakukan
di daratan dan laut dangkal, primary recovery dan lapangan yang relatif besar.
Kontrak Bagi Hasil memerlukan perlakuan lex specialist karena Pemerintah
mendapat bagian yang sangat tinggi yaitu 85 persen untuk minyak dan 70 persen
untuk gas dari Pendapatan Bersih yaitu Revenue dikurang Cost Recovery.
Sebaiknya, tidak dikenakan pungutan-pungutan tambahan. Cost recovery
adalah untuk meningkatkan produksi dan dibayar oleh pendapatan dari produksi
yang juga berlaku di pajak biasa. Membatasi cost recovery dapat membatasi
produksi. Eksplorasi belum tentu menemukan minyak. Mengenakan pajak pada waktu
eksplorasi akan menurunkan peringkat investasi Indonesia.
Perlu peningkatan pelayanan untuk Penawaran Wilayah Kerja dan POD Pertama serta
untuk Persetujuan WP&B dan POD.
Perlu diatasi permasalahan- permasalahan yang terdapat di daerah operasi,
yaitu: 1. Pembebasan Tanah 2. Kehutanan 3. Masalah perijinan dan biokrasi, 4.
Desentralisasi, 5. Koordinasi Pembebasan tanah sebaiknya dilakukan oleh
Pemerintah dan Kontraktor yang membayarnya. Dalam pandangan sebagian
Masyarakat, Kontraktor itu kaya dan serakah sehingga selayaknya dimintai
sebanyak-banyaknya.
Perlu disadari kegiatan Migas dan Panasbumi tidak seperti kegiatan Pertambahan
Umum yang mengelupas tanah sehingga membutuhkan lahan yang luas. Disini
kegiatannya adalah mengebor tanah. Pada waktu diskusi Panasbumi di Universitas
Udayana Bali didapat informasi bahwa Proyek Panasbumi di Bedugul hanya
membutuhkan lahan seluas 80 hektar. Lebih baik Perusahaan Migas diperbolehkan
untuk melakukan kegiatan di hutan tetapi diberi tugas untuk membantu menanam
pohon disitu.
Perlu disadari bahwa perusahaan yang melakukan pemboran di laut selalu
berpindah. Misal, sekarang di Indonesia, kemudian ke Vietnam dan berikutnya ke
Afrika. Cabotage yang mengharuskan kapal yang beroperasi di Indonesia harus
berbendera di Indonesia mempersulit usaha perminyakan di offshore. Padahan 70
persen dari wilayah Indonesia terdiri dari laut.
Di Indonesia ada sindiran: “Kalau bisa dipersulit kenapa tidak”.8. Ijin
kadang-kadang dipersulit dengan maksud supaya mendapat upeti sehingga biaya
menjadi lebih mahal. Disamping itu Perusahaan Multinasional kebanyakan melarang
penyogokan sehingga Ijin menjadi berlarut- larut.
Desentralisasi (kewajiban dan dana) sebaiknya tidak hanya berhenti di tingkat
elit saja. 40% Bagian Kabupaten Penghasil (40% Bagian Daerah) sebaiknya
diberikan ke Kecamatan Penghasil, lebih lanjut 40% Bagian Kecamatan Penghasil
diberikan ke Kelurahan Penghasil sehingga rakyat bisa menikmati manfaat dari
kegiatan migas di depan matanya. Akibatnya rakyat akan mendukung dan bukan
menghambatnya.
Perlu peningkatan kualitas aturan hukum, stabilitas politik, kepastian
regulasi, sistem birokrasi dan informasi di lingkungan ESDM dan koordinasi
antar institusi terkait (Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Bappenas,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri
dan lain lain) serta antar Pusat dan Daerah dan antar Daerah di bidang
migas.
Peningkatan Kemampuan Nasional migas akan terjadi apabila terdapat keperpihakan
pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka
pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan nasional dengan mempertimbangkan
program kerja, kemampuan teknis dan keuangan. Tidak tertutup kemungkinan tetap
bekerjasama dengan Operator sebelumnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah
pinjaman dari bank nasional untuk membiayai kegiatan produksi energi nasional
dengan kehati-hatian. Perlu ditingkatkan partisipasi Indonesia untuk kegiatan
migas Internasional.
Perlu dijajagi kemungkinan Kerjasama Energi di Luar Negeri baik untuk minyak
dan gas. Untuk minyak dengan Negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Untuk gas
misal dengan Iran yang memiliki cadangan gas nomor dua terbesar di dunia yaitu
982 TCF, Algeria 159 TCF, Nigeria 187 TCF sedangkan Indonesia mempunyai pengalaman
memproduksikan gas dan LNG lebih dari 30 tahun. Dengan membantu memproduksikan
gas dan LNG dari Iran, Algeria, Nigeria dan negara-negara lain. maka Indonesia
bisa mendapatkan Bagi Hasilnya sehingga dapat mengimpor gas. Lebih baik
mengimpor gas daripada mengimpor minyak dan BBM karena harganya lebih murah.
Perlu dicatat Negara tetangga kita, Australia, mempunyai cadangan gas 89 TCF
dengan penduduk sedikit. Syarat untuk mengimpor gas adalah adanya LNG Receiving
Terminal.
Energi di
Indonesia
Produksi dan Cadangan Terbukti Minyak kita turun terus. Walaupun cadangan
terbukti gas kita empat kali lipat cadangan Minyak tetapi program konversi
Minyak ke Gas Domestik tidak berjalan mulus. Program 10.000 MW PLTU (Uap)
Batubara tidak berjalan mulus dan sebagian besar produksi batubara kita
diekspor. PLTA (Air) di luar Jawa kurang berkembang. Program Bahan Bakar
Nabati tidak berjalan seperti yang diharapkan. PLTS (Surya) dan PLTB
(Bayu) banyak yang tidak berfungsi lagi. Berarti ada yang tidak pas di Negeri
ini. Marilah kita evaluasi satu per satu.
Minyak kurang berkembang karena sistem fiskal dan iklim investasi yang kurang
menarik. Gas kurang termanfaatkan untuk domestik karena harga domestik yang
tidak menarik dan tidak disiapkannya infrastruktur dimasa lalu. Batubara 10.000
MW kurang berkembang karena terdapat masalah negosiasi, birokrasi dan
koordinasi. Kebanyakan batubara diekspor karena harga domestik yang kurang
menarik dibandingkan harga ekspor. PLTA kurang berkembang karena masalah
birokrasi, koordinasi, promosi dan kemauan politik untuk mengembangkan industri
di luar Jawa. Panasbumi kurang berkembang karena harga domestik yang tidak
menarik di masa lalu. Bioenergi kurang berkembang karena masalah harga,
peraturan, insentif, birokrasi, koordinasi dan litbang. Surya dan bayu
tidak terawat karena kurang dikembangkan litbang dan Kemampuan Nasional
disamping masalah birokrasi dan koordinasi. Konservasi kurang berhasil karena
harga energi murah, peraturan (kurangnya insentif untuk penghematan
energi),kurangnya transportasi umum yang baik dan kurangnya dukungan bagi
litbang serta kurangnya peningkatan kemampuan nasional untuk itu.
Menurut International Sustainable Energy Organization (ISEO) Biaya Energi
Terbarukan seperti Energi Surya, Energi Angin, Panasbumi, Arus Laut dan
Hidrogen akan turun di masa depan, sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Tenaga
Air (PLTA) akan naik (walaupun masih tetap rendah). Biaya Energi Tak Terbarukan
seperti Minyak, Gas, Batubara dan Nuklir akan naik di masa depan.
German Working Party, 2004 memperkirakan Biaya Energi sampai tahun 2050 (Gambar
1) termasuk menggunakan Geocogen (Geothermal deepwell energy cogeneration) dan
SBSP (Space Based Solar Power). Juga diperkirakan True Energy Cost dengan
memperhitungkan Resiko, Biaya Lingkungan dan Carbon Credit (Sumber: Gustav R.
Grob (ISEO Executive Secretary dan ICEC President). ISEO adalah
International Sustainable Energy Organization sedangkan ICEC adalah
International Clean Energy Consortium. Judul makalahnya adalah “Energy Status Quo
and Technology towards Clean Energy”, Chengdu, China, September 28, 2010).
Batubara bisa lebih bersih lingkungan, konsekuensinya biayanya lebih mahal.
Batubara bisa dibuat cair (Coal To Liquid atau CTL) atau dijadikan gas. Gas
bisa dibuat cair (Gas To Liquid atau GTL). Gas bisa diperoleh dari Gas Alam
(Potensi 335 TCF), dari CBM (Potensi 454 TCF), Shale Gas dan dari Methane
Hydrate (Potensi 625 TCF).
International Energy Agency atau IEA di Paris tahun 20115 memberikan
Electricity Generation Costs 2010 dan Perkiraan 2050 (Tabel 3).
Tidak benar kalau energi nuklir sangat aman karena disamping Chernobyl dan
Three Mile Island, di Amerika Serikat 27 dari 104 reaktor nuklirnya pernah
bocor (Tobi Raikkonen, 12 Maret 2010). Menurut USA Today 17 Juli 2007 di Jepang
terjadi kebocoran nuklir 1997-2007 sebanyak 8 kali. Apalagi kemudian terjadi
tragedi Fukushima (2011). Banyak Negara2 Eropa yang menutup PLTN (Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir) nya 2020.
Penanganan dan penyimpanan limbah Uranium yang benar adalah mahal dan kalau
tidak benar berbahaya. Perancis bisa membantu memproses limbah Uranium
tetapi limbah terakhirnya tetap dikirim ke Negara asal yang mempunyai PLTN.
Andaikata Nuklir ingin dikembangkan segera maka paling cepat dioperasikan
pada 2021 karena memerlukan 10 tahun untuk merealisasikan PLTN
seperti di Malaysia. Sebaiknya Indonesia bekerjasama dengan Singapura dan
Malaysia (lebih baik bila juga dengan Negara-negara Asean lainnya). Lokasi
pembangkitan nya bisa di Pulau kosong di Indonesia dekat Singapura. Makin
banyak Negara2 yang mengawasi diharapkan makin aman dan makin banyak Negara2
yang memakai makin murah.
Hal-Hal yang Perlu Dilakukan:
Kita perlu meningkatkan cadangan dan produksi migas, meningkatkan pemanfaatan
energi non migas di daerah-daerah, mengurangi subsidi harga energi dan
meningkatkan kemampuan nasional.
A.
Meningkatkan Cadangan dan Produksi Migas:
Meningkatkan cadangan migas dapat dilakukan
dengan meningkatkan eksplorasi migas untuk menemukan lapagan –lapangan baru dan
meningkatkan Enhanced Oil Recovery di lapangan-lapangan yang sudah ada:
1. Meningkatkan Eksplorasi Migas dimana Indonesia mempunyai Potensial resources
sebesar 56 Milyar Barel. Perlu disadari bahwa Resources ini tidak akan jadi
Proven Reserves tanpa Eksplorasi. Apabila terdapat Investasi untuk Eksplorasi
sehingga setengah dari Potensi tersebut dapat menjadi terbukti maka terdapat tambahan
Cadangan sebesar 28 milyar barel. Perlu dicatat bahwa eksplorasi di laut dalam,
daerah terpencil dan pemboran dalam lebih mahal. Hal-hal yang perlu dilakukan:
- Perlu
sistem Fiskal yang lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko
kontraktor dengan memberikan bagian pemerintah atau GT (Government
Take) yang kecil untuk R/C (Revenue/Cost) yang kecil dan GT yang besar
untuk R/C yang besar yang berlaku untuk minyak, gas dan CBM (Coal Bed
Methane).
- Meningkatkan
Kualitas Pelelangan dan Informasi Wilayah Kerja yang ditawarkan (dengan
studi Geofisika dan Geologi yang lebih baik) supaya diperoleh
Perusahaan-perusahaan Migas yang Bonafide.
- Meningkatkan
Iklim Investasi Migas dengan Regulasi dan Birokrasi serta Koordinasi antar
Institusi dan Birokrat yang mendukungnya. Perlu diatasi
permasalahan- permasalahan yang terdapat di daerah operasi, yaitu: 1.
Pembebasan Tanah 2. Kehutanan 3. Masalah perijinan dan biokrasi, 4.
Desentralisasi, 5. Koordinasi.
- Perlu
peningkatan kualitas aturan hukum, stabilitas politik, kepastian regulasi,
sistem birokrasi dan informasi di lingkungan ESDM dan koordinasi antar
institusi terkait (Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Bappenas,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam
Negeri dan lain lain) serta antar Pusat dan Daerah dan antar Daerah
di bidang migas.
2.
Meningkatkan Enhanced Oil Recovery (EOR) di Lapangan-lapangan Produksi
yang mempunyai Remaining Oil in Place sebesar 60 milyar Barel. Artinya kalau
kita dapat memproduksikan setengahnya saja dengan EOR maka kita kita mendapat
tambahan Cadangan Terbukti sebesar 30 milyar barel. Perlu dicatat bahwa biaya
EOR lebih mahal. Yang perlu dilakukan:
- Mendanai
Peningkatan Penelitian EOR di Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian
terutama yang sudah melakukannya.
- Mewajibkan
Kontraktor Migas untuk Studi Potensi EOR dan melakukan Pilot EOR dengan
memberi kesempatan kepada Institusi Domestik.
- Memberi
Insentif bagi Penambahan Produksi akibat EOR.
B.
Meningkatkan Pemanfaatan Energi Non Migas di daerah:
Perlu dibuat peta dan perkiraan potensi energi non migas yang lebih rinci
disetiap daerah. Perlu ditawarkan kepada investor pengembangan energi tersebut.
Apabila di daerah tersebut diketahui kekurangan permintaan energi maka diundang
investor untuk mengembangkan industri di daerah tersebut sehingga diciptakan
permintaan energi dan lapangan pekerjaan. Untuk itu perlu ditingkatkan
kemampuan daerah secepat mungkin dengan Pejabatnya mengikuti workshop Analisis
Kebijakan dalam jangka pendek dan mengirim Pejabatnya mengambil S2 baik di
dalam dan di luar negeri. serta meningkatan kualitas pendidikan dasar, menengah
dan tinggi di daerah. Perlu diperbanyak desa mandiri pangan dan energi.
Tanggung jawab lingkungan fisik dan sosial dibagi Daerah dan Perusahaan
mengingat Daerah juga mendapat dana dari energi.
C.
Membereskan Masalah Listrik
Perlu menfasilitasi PLN agar kontraktor bisa menyelesaikan proyek 10.000 MW Tahap
1dan belajar dari kendala-kendala Tahap 1 kita selesaikan 10.000 MW Tahap 2
lebih baik dan lebih cepat. Wajib memakai bahan bakar non BBM (batubara, gas,
panasbumi dan enegi terbarukan lainnya) untuk mengurangi subsidi BBM dan biaya
listrik. Perlu dioptimalkan penggunaan energi domestik. Kalau perlu kita bisa
mengimpor gas karena mengimpor gas lebih murah dari mengimpor BBM.
D. Mengurangi Subsidi Harga Energi
Perlu digantinya penggunaan BBM untuk energi tidak hanya untuk listrik,
tetapi juga untuk transportasi, rumah tangga dan industri. Apabila Indonesia
bisa memakai energi yang lebih murah sebagai pengganti BBM (yang mahal) maka
dapat dihemat paling tidak seratus trilyun rupiah. Pada tahun 2009 BBM untuk
transportasi 37,2 milyar liter (l), rumah tangga 4,7 milyar liter,
industri 9,8 milyar l, listrik 8,9 milyar l dan ABRI 0,5 milyar l. Apabila
harga BBM Rp 8.000 per liter dan bisa mengganti 80% transportasi dengan BBG
seharga Rp 4.000 per liter setara premium akan menghemat Rp 4.000 per liter atau
Rp 119 trilyun. Kalau bisa mengganti 80% memasak dengan LPG seharga Rp 4.000
per liter setara minyak tanah akan menghemat Rp 4.000 per l atau Rp 15
trilyun dan kalau dengan Gas Kota di Kota-kota besar akan lebih menghemat lagi.
Kalau bisa mengganti 80% BBM untuk listrik dengan energi lain akan menghemat Rp
5.300 per liter atau Rp 38 trilyun. Dana yang dihemat lebih dari 170 trilyun
untuk harga BBM Rp 8.000 per liter Dana tersebut dapat digunakan untuk
pembagunan infrastruktur dan mengembangkan kemampuan Migas dan Energi Nasional
serta Kemampuan Nasional lainnya sehingga menciptakan banyak Lapangan
Kerja.
Secara bertahap perlu dinaikkan Harga BBM dan disaat yang sama disediakan
Energi Alternatif Non BBM serta ditingkatkan Penggunaan Transportasi Umum yang
nyaman serta perlu Insentif untuk Kendaraan dan Peralatan Hemat Energi.
E. Peningkatan Kemampuan Nasional
Peningkatan Kemampuan Nasional migas akan terjadi apabila terdapat keperpihakan
pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka
pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan nasional dengan mempertimbangkan
program kerja, kemampuan teknis dan keuangan. Tidak tertutup kemungkinan tetap
bekerjasama dengan Operator sebelumnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah
pinjaman dari bank nasional untuk membiayai kegiatan produksi energi nasional
dengan kehati-hatian. Perlu ditingkatkan partisipasi Indonesia untuk kegiatan
migas Internasional.
B.
Rumusan Masalah
Dari pembahasan diatas, maka yang menjadi rumusan
masalah pada penulisan ini adalah :
1. Apa yang
dimaksud dengan energi ?
2. Apa macam dan bentuk energi ?
3. Bagaimana
masalah Pembangunan energi ?
4. Bagaimana
cara menyelasaikan masalah pembangunan energi ?
C.
Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan
penulisan ini adalah :
1. Untuk
mengidentifikasi energi
2. Untuk mengetahui macam dan bentuk
energi
3. Untuk mengetahui apa masalah
pembangunan energi
4. Untuk
mengidentifikasi cara menyelesaikan masalah pembangunan energi
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
2.1 Pengembangan
Energi Terbarukan di Indonesia
Ramalan
Kebutuhan dan Ketersediaan Energi Listrik di Indonesia
Dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi
dalam sepuluh tahun terakhir, skenario "export-import" dan
pertumbuhan penduduk, pada tahun 1990 diramalkan bahwa tingkat pertumbuhan
kebutuhan energi listrik nasional dapat mencapai 8,2 persen rata-rata per tahun,
seperti ditunjukkan dalam tabel-1 berikut.
Tabel-1
Ramalan Kebutuhan Energi Listrik |
|||||||
Sektor
|
1990
|
2000
|
2010
|
||||
GWh
|
persen
|
GWh
|
persen
|
GWh
|
persen
|
||
Industri
|
35.305
|
68,0
|
84.822
|
69,0
|
183.389
|
70,0
|
|
Rumah
tangga
|
9.865
|
19.00
|
22.2392
|
18.0
|
40.789
|
16.0
|
|
Fasilitas
umum
|
3.634
|
7,0
|
6.731
|
6.0
|
12.703
|
5.5
|
|
Komersial
|
3.115
|
6.0
|
8.811
|
7,0
|
21.869
|
8.5
|
|
Total
|
51.919
|
100.0
|
122.603
|
100.0
|
258.747
|
100.0
|
Kebutuhan energi listrik tersebut
diharapkan dapat dipenuhi oleh pusat-pusat pembangkit listrik, baik yang
dibangun oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Sebagai ilustrasi, pada tahun
1990 kebutuhan energi listrik sebesar 51.919 GWh telah dipenuhi oleh seluruh
pusat pembangkit listrik yang ada dengan kapasitas daya terpasang sekitar
22.000 MW. Sehingga pada tahun 2010 dari kebutuhan energi listrik, yang
diramalkan mencapai 258.747 GWh per tahun, diharapkan dapat dipenuhi oleh
sistem suplai energi listrik dengan kapasitas total sebesar 68.760 MW, yang
komposisi sumber daya energinya seperti diperlihatkan dalam tabel-2
Tabel-2
Prakiraan Penyedian Energi Listri di Indonesia |
|||||||
Sumber
Energi
|
1990
|
2000
|
2010
|
||||
MW
|
persen
|
MW
|
persen
|
MW
|
persen
|
||
Batubara
Gas Minyak Solar Panas Bumi Air Biomass Lain-lain (Surya Angin) |
1.930
3.530 2.210 11.020 170 2.850 270 20 |
8.8
16.0 10.0 50.1 0.8 13.0 1.2 0.1 |
10.750
7.080 1.950 9.410 500 7.720 290 160 |
28.4
18.7 5.2 24.8 1.3 20.4 0.8 0.4 |
28.050
14.760 320 4.060 430 10.310 460 370 |
35.3
21.5 0.5 5.9 0.6 15.0 0.7 0.5 |
|
Total
|
22.000
|
100.0
|
37.860
|
100.0
|
68.760
|
100.0
|
Dari tabel-2 ini tampak jelas terlihat,
bahwa penggunaan minyak bumi, termasuk solar/minyak disel, sebagai bahan bakar
produksi energi listrik akan sangat berkurang, sebaliknya pemanfaatan
sumber-sumber daya energi baru dan terbarukan, seperti air, matahari, angin dan
biomas, mengalami peningkatan yang cukup tajam. Kecenderungan ini tentu akan
terus bertahan seiring dengan makin berkurangnya cadangan minyak bumi serta
batubara, yang pada saat ini masih merupakan primadona banan bakar bagi
pembangkit listrik di Indonesia.
Akan tetapi sejak tahun 1992 kebutuhan
energi listrik nasional meningkat mencapai 18 persen rata-rata per tahun, atau
sekitar dua kali lebih tinggi dari skenario yang dibuat pada tahun 1990. Hal
ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi nasional kaitannya dengan
pertumbuhan industri dan jasa konstruksi. Jika keadaan ini terus bertahan,
berarti diperlukan pula pengadaan sistem pembangkit energi listrik tambahan
guna mengantisipasi peningkatan kebutuhan tersebut. Dilema yang timbul adalah
bahwa di satu sisi, pusat-pusat pembangkit energi listrik yang besar tentu akan
diorientasikan untuk mencukupi kebutuhan beban besar, seperti industri dan
komersial. Di sisi lain perlu juga dipikirkan agar beban kecil, seperti
perumahan dan wilayah terpencil, dapat dipenuhi kebutuhannya akan energi
listrik. Salah satu alternatif yang dapat diupayakan adalah dengan membangun
pusat-pusat pembangkit kecil sampai sedang yang memanfaatkan potensi sumber
daya energi setempat, khususnya sumber daya energi baru dan terbarukan.
Peluang Pengembangan Energi Terbarukan di
Indonesia
- Menipisnya
cadangan minyak bumi
Setelah terjadinya
krisis energi yang mencapai puncak pada dekade 1970, dunia menghadapi kenyataan
bahwa persediaan minyak bumi, sebagai salah satu tulang punggung produksi
energi terus berkurang
Bahkan beberapa ahli
berpendapat, bahwa dengan pola konsumsi seperti sekarang, maka dalam waktu 50
tahun cadangan minyak bumi dunia akan habis. Keadaan ini bisa diamati dengan
kecenderungan meningkatnya harga minyak di pasar dalam negeri, serta ketidak
stabilan harga tersebut di pasar internasional, karena beberapa negara maju
sebagai konsumen minyak terbesar mulai melepaskan diri dari ketergantungannya
kepada minyak bumi sekaligus berusaha mengendalikan harga, agar tidak
meningkat. Sebagai contoh; pada tahun 1970 negara Jerman mengkonsumsi minyak
bumi sekitar 75 persen dari total konsumsi energinya, namun pada tahun 1990
konsumsi tersebut menurun hingga tinggal 50 persen (Pinske, 1993).
Jika dikaitkan dengan
penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar sistem pembangkit listrik, maka
kecenderungan tersebut berarti akan meningkatkan pula biaya operasional
pembangkitan yang berpengaruh langsung terhadap biaya satuan produksi energi
listriknya. Di lain pihak biaya satuan produksi energi listrik dari sistem
pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan menunjukkan
tendensi menurun, sehingga banyak ilmuwan percaya, bahwa pada suatu saat biaya
satuan produksi tersebut akan lebih rendah dari biaya satuan produksi dengan
minyak bumi atau energi fosil lainnya.
b. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelestarian
lingkungan
Dalam sepuluh tahun
terakhir ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan
hidup menunjukkan gejala yang positif. Masyarakat makin peduli akan upaya
penanggulangan segala bentuk potusi, mulai dari sekedar menjaga kebersihan
lingkungan sampai dengan mengontrol limbah buangan dan sisa produksi. Banyak
pembangunan proyek fisik yang memperhatikan faktor pelestarian lingkungan,
sehingga perusakan ataupun pengotoran yang merugikan lingkungan sekitar dapat
dihindari, minimal dikurangi. Setiap bentuk produksi energi dan pemakaian
energi secara prinsip dapat menimbulkan bahaya bagi manusia, karena pencemaran
udara, air dan tanah, akibat pembakaran energi fosil, seperti batubara, minyak
dan gas di industri, pusat pembangkit maupun kendaraan bermotor. Limbah
produksi energi listrik konvensional, dari sumber daya energi fosil, sebagian
besar memberi kontribusi terhadap polusi udara, khususnya berpengaruh terhadap
kondisi klima.
Pembakaran energi fosil
akan membebaskan Karbondioksida (CO2) dan beberapa gas yang
merugikan lainnya ke atmosfir. Pembebasan ini merubah komposisi kimia lapisan
udara dan mengakibatkan terbentuknya efek rumah kaca (treibhouse effect), yang
memberi kontribusi pada peningkatan suhu bumi. Guna mengurangi pengaruh negatif
tersebut, sudah sepantasnya dikembangkan pemanfaatan sumber daya energi
terbarukan dalam produksi energi listrik. Sebagai ilustrasi, setiap kWh energi
listrik yang diproduksi dari energi terbarukan dapat menghindarkan pembebasan
974 gr CO2, 962 mg SO2 dan 700 mg NOx ke udara, dari pada
Jlka diproduksi dari energi fosil. Bisa dihitung, jika pada tahun 1990 yang
lalu 85 persen dari produksi energi listrik di Indonesia (sekitar 43.200 GWh)
dihasilkan oleh energi fosil, berarti terjadi pembebasan 42 juta ton CO2,
41,5 ribu ton SO2 serta 30 ribu ton NOx. Kita tahu bahwa CO2
merupakan salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca, SO2
mengganggu proses fotosintesis pada pohon, karena merusak zat hijau daunnya,
serta menjadi penyebab terjadinya hujan asam bersama-sama dengan NOx. Sedangkan
NOx sendiri secara umum dapat menumbuhkan sel-sel beracun dalam tubuh mahluk
hidup, serta meningkatkan derajat keasaman tanah dan air jika bereaksi dengan
SO2.
Kendala pengembangan Energi terbarukan di
Indonesia
Pemanfaatan sumber daya energi terbarukan
sebagai bahan baku produksi energi listrik mempunyai kelebihan antara lain;
- relatif
mudah didapat,
- dapat
diperoleh dengan gratis, berarti biaya operasional sangat rendah,
- tidak
mengenal problem limbah,
- proses
produksinya tidak menyebabkan kenaikan temperatur bumi, dan
- tidak
terpengaruh kenaikkan harga bahan bakar (Jarass,1980).
Akan tetapi bukan berarti pengembangan
pemanfaatan sumber daya energi terbarukan ini terbebas dari segala kendala.
Khususnya di Indonesia ada beberapa kendala yang menghambat pengembangan energi
terbarukan bagi produksi energi listrik, seperti:
- harga
jual energi fosil, misal; minyak bumi, solar dan batubara, di Indonesia
masih sangat rendah. Sebagai perbandingan, harga solar/minyak disel di
Indonesia Rp.380,-/liter sementara di Jerman mencapai Rp.2200,-/liter,
atau sekitar enam kali lebih tinggi.
- rekayasa
dan teknologi pembuatan sebagian besar komponen utamanya belum dapat
dilaksanakan di Indonesia, jadi masih harus mengimport dari luar negeri.
- biaya
investasi pembangunan yang tinggi menimbulkan masalah finansial pada
penyediaan modal awal.
- belum
tersedianya data potensi sumber daya yang lengkap, karena masih
terbatasnya studi dan penelitian yang dilkakukan.
- secara
ekonomis belum dapat bersaing dengan pemakaian energi fosil.
- kontinuitas
penyediaan energi listrik rendah, karena sumber daya energinya sangat
bergantung pada kondisi alam yang perubahannya tidak tentu.
Potensi sumber daya energi terbarukan,
seperti; matahari, angin dan air, ini secara prinsip memang dapat diperbarui,
karena selalu tersedia di alam. Namun pada kenyataannya potensi yang dapat
dimanfaatkan adalah terbatas. Tidak di setiap daerah dan setiap waktu; matahari
bersinar cerah air jatuh dari ketinggan dan mengailr deras serta angin bertiup
dengan kencang Di sebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan tersebut, nilaii
sumber daya energi sampal saat ini belum dapat begitu menggantikan kedudukan
sumber daya energi fosil sebagai bahan baku produksi energi listrik. Oleh sebab
itu energi terbarukan ini lebih tepat disebut sebagai energi aditif, yaitu
sumber daya energi tambahan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi
listrik, serta menghambat atau mengurangi peranan sumber daya energi fosil.
Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di
Indonesia
Berdasar atas kendala-kendala yang dihadapi
dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan peran energi terbarukan pada
produksi energi listrik khususnya, maka beberapa strategi yang mungkin
diterapkan, antara lain:
- meningkatkan
kegiatan studi dan penelitian yang berkaitan dengan; pelaksanaan identifikasi
setiap jenis potensi sumber daya energi terbarukan secara lengkap di
setiap wilayah; upaya perumusan spesifikasi dasar dan standar rekayasa
sistem konversi energinya yang sesuai dengan kondisi di Indonesia;
pembuatan "prototype" yang sesuai dengan spesifikasi dasar dan
standar rekayasanya; perbaikan kontinuitas penyediaan energi listrik;
pengumpulan pendapat dan tanggapan masyarakat tentang pemanfaatan energi
terbarukan tersebut.
- menekan
biaya investasi dengan menjajagi kemungkinan produksi massal sistem
pembangkitannya, dan mengupayakan agar sebagian komponennya dapat
diproduksi di dalam negeri, sehingga tidak semua komponen harus diimport
dari luar negeri. Penurunan biaya investasi ini akan berdampak langsung
terhadap biaya produksi.
- memasyarakatkan
pemanfaatan energi terbarukan sekaligus mengadakan analisis dan evaluasi
lebih mendalam tentang kelayakan operasi sistem di lapangan dengan
pembangunan beberapa proyek percontohan .
- meningkatkan
promosi yang berkaitan dengan pemanfaatan energi dan upaya pelestarian
lingkungan.
- memberi
prioritas pembangunan pada daerah yang meliki potensi sangat tinggi, baik
teknis maupun sosio-ekonomisnya.
- memberikan
subsidi silang guna meringankan beban finansial pada tahap pembangunan.
Subsidi yang diberikan, dikembalikan oleh konsumen berupa rekening yang
harus dibayarkan pada setiap periode waktu tertentu. Dana yang terkumpul
dari rekening tersebut digunakan untuk mensubsidi pembangunan sistem
pembangkit energi listrik di wilayah lain.
Pembangunan sistem pembangkit energi
listrik yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, terutama air, sudah
banyak dilaksanakan di Indonesia. Pemanfaatan energi angin banyak diterapkan di
daerah pantai, seperti di Jepara, pulau Lombok, Sulawesi dan Bali. Sementara
energi matahari telah dimanfaatkan di beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat dan wlayah timur Indonesia. Sebagian besar dari pembangunan
tersebut berupa proyea-proyek percontohan.
2.2
Krisis Energi
“Kemerosotan industri energi (Minyak, Gas dan Listrik)
merupakan bagian dari privatisasi perusahaan negara, bukan sekedar
pengambilalihan perusahaan melainkan (sejatinya) untuk melapangkan jalan
monopoli kapital nasional seutuhnya ke tangan kapitalis internasional.”
Ekonomi neoliberal, telah menempatkan energi sebagai
komoditi yang harus dikuasai. Apakah itu dengan tujuan untuk mensuplai terus
bahan energi bagi produksi massal kapitalisme ataupun penguasaan dan
eksploitasinya secara sepihak—melalui politik neoliberal—bagi keuntungan
akumulasi yang sebesar-besarnya ke tangan minoritas klas dalam masyarakat
dunia: korporasi internasional—beserta kaki tangannya.
Neoliberalisme[1], telah menempatkan energi sebagai
bagian dari kapital sosial keluar dari fungsinya untuk memenuhi kebutuhan suatu
kolektif masyarakat, energi telah ditempatkan sebagai hasil produksi
kapitalisme yang diperuntukkan bagi kemakmuran masyarakat kapitalis dunia.
Suatu lembaga kolektif (Negara)—cerminan masyarakat
berklas—telah dicerabut fungsinya untuk mengolah kapital sosial tersebut bagi
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan publik. Hal ini merupakan hukum perkembangan
kapitalisme yang tak menghendaki adanya hambatan-hambatan bagi penumpukan
(akumulasi) keuntungan—yang menurut Adam Smith merupakan dasar bagi
perkembangan ekonomi. Sayangnya, penumpukan kapital ini berada ditangan
segilintir orang (klas kapitalis) yang selanjutnya menghambat perkembangan
ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, segala cara akan dilakukan demi
berjalannya proses eksploitasi bagi akumulasi kapital, meskipun melalui pendekatan
militeristik.
Dengan mengatasnamakan Pancasila, TINA (There is No
Alternative) dan efek “tetes ke bawah” (Tricle Down Effect)
penerapan neoliberalisme dibidang energi, melalui politik energi, sepenuhnya
ditujukan bagi penerapan konsep kesetaraan permainan (Level Playing Field)
melalui pembukaan pasar dan perombakan struktur industri energi, yang nyatanya
hanya berlaku bagi korporasi-korporasi internasional—yang memiliki modal dan
teknologi skala besar dan modern. Tapi tidak bagi negara berkembang yang
mengalami capital flight—diakibatkan pembayaran utang luar negeri
(cicilan dan bunga), rekapitalisasi obligasi perbankan, kredit eksport militer,
dll. Sehingga basis bagi Industrialisasi Nasional dibidang
Energinya—melalui pembangunan Industri Hulu (Downtream), Industri Antara
(Midstream[2]), Industri Hilir[3] (Upstream)—tidak
terbangun.
Fakta meningkatnya inflasi suatu negeri, meningkatnya
harga-harga kebutuhan pokok: beras, sayur-sayuran, biaya rumah tinggal,
pakaian—yang berkaitan erat dengan nilai salah satu produk energi,
minyak—meningkatnya jumlah pengangguran dan perusahaan bangkrut, merupakan
relasi yang tak terpisahkan dengan pendekatan kebijakan energi yang pro pasar.
Yang jelasnya ditunjukkan ketika fluktuasi minyak di pasar internasional yang
tidak memberikan WindFall Profit (lonjakan keuntungan) bagi
negara ini, melainkan peningkatan import minyak dan harga BBM, serta pencabutan
subsidi.
Secara jelas kita akan membahas apakah kebijakan
penyesuaian struktural (structural adjustment program) memberikan
kedaulatan sumber daya energi nasional ataukah penjajahan (kembali) atas
kekayaan energi nasional yang mengakibatkan perpanjangan sejarah kemiskinan
penduduk negeri ini?
Potensi Sumberdaya
Energi Indonesia beserta fakta-faktanya, antara lain:
Pertama Indonesia merupakan negara dengan kapasitas panas bumi
terbesar di dunia (40% cadangan dunia, atau sekitar 27.140,5 MegaWatt). Tapi
pemanfaatan cadangan panas bumi Indonesia masih sangat minim, yakni hanya 800
MW. Plus, potensi bahan tambang lainnya, seperti batubara 3,1% cadangan dunia,
dan gas[4] 1,4% cadangan dunia, tenaga air[5] 75 Giga Watt, biomasa 49 GW,
tenaga matahari 48 kWh/m2/hari[6], tenaga angin[7] 9 GW, dan uranium dengan
kapasitas sebesar 32 GW atau total ada lebih 230 GW. Fakta yang ada atas
potensi tersebut, antara lain:
- Ketersediaan
listrik di Indonesia baru mencapai 21,6 GW atau 108 watt per orang, jauh
lebih kecil dibandingkan dengan Jepang yang mencapai 1.874 watt/orang.
Padahal, kebutuhan listrik dunia diproyeksikan akan meningkat dari 14.275
milyar watt di tahun 2002 melonjak menjadi 26.018 milyar watt di tahun
2025.
- Batubara
dipasok untuk industri ketenagalistrikan dengan jumlah 22,882 juta ton.
Meski sudah ada pasokan dari batubara, tetapi produksi energi listrik
masih juga memakan 6,796 Juta kilo liter bahan bakar minyak. Seiring
dengan kenaikan harga minyak maka jumlah dan harga energi listrik juga
menjadi semakin mahal. Hal tersebut mengakibatkan tarif listrik semakin
mahal. Terlebih penjualan minyak dan batubara serta bahan penunjang
lainnya antar BUMN ataupun tidak di dalam negeri, dilakukan dengan mata
uang dollar.
- Sejauh
ini produksi listrik nasional untuk konsumsi dalam negeri baru 80%,
sedangkan 20%nya harus dibeli PLN.
- Di
Indonesia Black Out (pemadaman sementara) pernah terjadi
pada tahun 1997, 1999, 2000 dan 2002 dan memiliki kecenderungan akan terus
terjadi dengan tingkat yang lebih besar.
- Tarif
dasar listrik terus dinaikkan—hal ini menunjukkan pencabutan subsidi
listrik diberlakukan oleh pemerintah.
Kedua, Indonesia merupakan negara net eksporter Gas
dunia—dengan 10 perusahaan asing (Exxon Mobil, Vico, BP, Unocal,
Conoco Philips, Energi, Caltex, Exspan, Premier/Amoseas, Cnooc/YPF/Maxus)
menguasai 55% produksi gas Indonesia—dengan cadangan gas saat ini diperkirakan sebesar
134,0 TSCF yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera
Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Natuna,
Sulawesi Selatan, dan Papua. Sementara produksi gas tercatat sebesar 8,6 miliar
kaki kubik per hari, dimana 6,6 miliar kaki kubik dari produksi tersebut
digunakan untuk ekspor dan sisanya sebesar 2,0 miliar kaki kubik untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri yaitu untuk keperluan fertilizers, refinery,
petrochemicals, LPG domestik, PGN, PLN, dan industri lainnya. Penerimaan
negara dari gas bumi rata-rata sebesar 10,2% dari total penerimaan negara dan
80% dari jumlah tersebut berasal dari ekspor. Fakta yang ada dari potensi
tersebut, antara lain:
- 10
perusahaan asing (Exxon Mobil, Vico, BP, Unocal, Conoco Philips,
Energi, Caltex, Exspan, Premier/Amoseas, Cnooc/YPF/Maxus) menguasai 55%
produksi gas Indonesia.
- Jepang
memperoleh 75% dari total pengiriman gas LPG perusahaan besar asing dari
Indonesia.
- Jepang
juga memperoleh 64% dari total pasokan LNG yang dikirim dari Indonesia.
- PT
Pupuk Iskandar Muda dan PT ASEAN Aceh Fertilizer hampir bangkrut karena
kurangnya pasokan Gas, karena target eksport ke Jepang dan Korea Selatan.
Serta pembelian harga LNG yang tinggi—dengan standar harga internasional
dan dengan pembayaran melalui dolar Amerika.
- Naiknya
harga minyak internasional hingga pada level $135 per barel tidak
memberikan windfall profit melainkan meningkatnya harga
premium ke harga Rp. 6000 per liter.
Ketiga, Potensi energi fosil jenis minyak, antaralain: minyak 86,9
miliar barel (sumberdaya), 9 miliar barel (Cadangan), 500 juta barel (Produksi
per tahun)[8]. Produksi 989.880 barel per hari itu dengan rincian kondensat
128.785 barel per hari dan minyak mentah 861.095 barel per hari (Mei 2008).
Dengan sumur yang siap diproduksi: Cepu/Jawa Timur: 170 ribu bph,
Jeruk/Jawa Timur: 50 ribu bph, West Seno/Selat Makasar: 27 ribu
bph, Belanak/Natuna: 50 ribu bph, Petrochina: 25 ribu bph,
Pertamina: 30,6 ribu bph. Fakta yang nyata dari potensi tersebut:
- Terjadi
penurunan produksi minyak dari tahun 1978 ketika Oil Shock
ke II produksi minyak Indonesia sebesar 1,4 Juta Barel per hari.
- Sepuluh
perusahaan asing ( BP, Caltex, CNOOC, Connocophilips, Exonmobil, EXSPAN,
Total Fina/ELF, Unocal, VICO, Petrocina) menguasai 84% produksi minyak
Indonesia dan perusahaan Caltex menguasai sebesar 56%.
- Cost
Recovery[9] yang
harus dibayarkan pemerintah untuk seluruh kontraktor selama 2007 mencapai
US$ 8,33 miliar.
- Ladang
minyak yang diyakini menyimpan cadangan dalam jumlah mencapai 1.1 milyar
barel di kedalaman kurang dari 1.700 meter itu, memiliki cadangan
potensial yang mencapai 11 milyar barel di kedalaman di atas 2000 meter
dikuasai oleh Exxon Mobil Oil.
Dari paparan potensi dan fakta diatas, pertanyaan
mendasar mengapa dengan kapasitas sumberdaya sebesar ini—yang sebagian
belum/kurang tereksplorasi karena rendahnya biaya penelitian dan pengembangan
eksplorasi—mengalami persoalan krisis energi?
Akar masalah:
Beberapa pandangan menyatakan bahwa kenaikan harga BBM
yang disebabkan oleh naiknya harga minyak dunia, hingga harga $130 per barrel,
karena faktor kurangnya pasokan minyak dunia ke pasaran, selayaknya pada teori
penawaran dan permintaannya (Suplay and Demand). Kenyataannya tidak
sesederhana itu. Liberalisasi keuangan dan liberalisasi perdagangan
internasional—yang merupakan perkembangan historis dari kapital bank dan
dagang, telah menghasilkan fluktuasi terhadap komoditi, keuangan dan kondisi
perekonomian suatu negeri. Seperti dalam konsep A. Smith, aktor–aktor pasarlah
yang menjadi penentu, sekaligus perusak perkembangan ekonomi suatu negeri.
Kenaikan harga minyak dunia baru-baru ini bukanlah
karena faktor turunnya suplai dari negara-negara net eksportir minyak atau
terlalu besarnya tingkat konsumsi negara-negara konsumen minyak seperti India,
China, Amerika.
Secara internasional, faktor utama disebabkan oleh
pelaku spekulan. Minyak sebagai komoditi saat ini tidak lagi diperdagangkan
dengan menghadirkan barang terlebih dahulu. Perkembangan perdagangan, telah
menghasilkan suatu sistem dimana perdagangan dapat dilakukan tanpa menghadirkan
barang (commodity) terlebih dahulu melainkan melalui surat-surat dengan
nilai tertentu yang diperdagangkan secara fluktuatif hingga diluar nilai
produksinya. Dewasa ini perdagangan bursa komoditi berjangka (Commodity
Futures Market[9]) menghasilkan fluktuasi terhadap tingkat harga barang
dalam pasar internasional. Minyak yang diperdagangkan dengan cara yang sama
(bursa komoditi berjangka) di bursa Singapura (Mid Oil Plats Singapore/MOPS)
ataupun New York Mercantile Exchange (Nymex) telah mendorong
spekulan-spekulan kredit perumahan (subprime mortgage) Amerika yang
tengah mengalami krisis di pasar modal AS merambah pada bursa komoditi
berjangka minyak. Para spekulan tersebut membeli surat-surat barang dalam
jumlah besar hingga nilai barang tersebut meningkat drastis. Selanjutnya para
spekulan tersebut melepas/menjual kembali surat-surat tersebut dan mengambil
margin keuntungan atau sering disebut Profit Taking Action/aksi
ambil untung. Atau dengan menjualnya dengan nilai yang tinggi ke pedagang
lain ataupun perusahaan negara.
Atas pelipatgandaan tingkat harga komoditas minyak ini
dari cost of production awal yang diuntungkan adalah korporasi
minyak dan gas internasional, para spekulan komoditi dan broker/calo-calo
minyak yang mengambil rente lebih besar ke konsumen minyak, AS, Jepang dan
Inggris yang menjadi pemilik korporasi minyak internasional. Lalu siapa yang
menjadi korban? Dengan tingkat pendapatan yang rendah maka rakyat dan
negara-negara miskin menjadi korban dari kenaikan minyak dalam skala
internasional ini.
Penumpukan kapital dari meningkatnya harga minyak
internasional menambah konsentrasi kapital di negara-negara imperialis ini.
Sebaliknya, negara-negera miskin, yang terpaksa menjalankan program penyesuaian
nilai minyak di dalam negerinya, membuat industri nasionalnya hancur. Situasi
ini disebabkan karena negara-negara tersebut berkembang dengan basis industri
yang lemah, teknologi yang rendah, modal yang kecil, kemudian biaya produksi
yang tinggi, karena meningkatnya harga minyak internasional, hasilnya: komoditi
dengan kualitas rendah dan harga yang tinggi.
Selanjutnya, harus dihadapkan pada komoditi dari
korporasi-korporasi internasional yang berkembang dengan konsentrasi produksi
yang besar, modern dan massal ditangan kapitalis internasional—yang nilai
komoditinya lebih murah dan berkualitas. Hasil akhirnya, dengan daya beli yang
rendah, konsumen akan membeli komoditi korporasi internasional dan komoditi
perusahaan negara atau perusahaan swasta dengan konsentrasi produksi yang
rendah akan ditinggalkan. Akibatnya: Deindustrialisasi Nasional.
Faktor internasional ini diperparah dengan,
pelaksanaan secara konsisten kebijakan ekonomi-politik neoliberal. Industri
energi, di negeri ini, berkembang dari perebutan perusahaan-perusahaan asing
paska kemerdekaan. Industri listrik (Perusahaan Lisrik Negara/PLN) misalnya,
pada pra kemerdekaan dibangun dari perusahaan swasta Belanda, NV.NIGM, yang
memperluas usahanya dari bidang gas ke tenaga listrik. Dalam masa berikutnya,
seperti perusahaan lainnya, akibat perang dunia ke II, perusahaan ini dikuasai
oleh Jepang. Paska kemerdekaan perusahaan ini diambil-alih oleh pemerintahan
Soekarno, melalui perjuangan heroik pemuda republik, dengan membentuk Jawatan
Listrik dan Gas. Dimana ketika itu kapasitas produksi tenaga listrik baru
sebesar 157,5 MegaWatt.
Sedangkan Industri minyak dan gas, dibangun juga dari
perusahaan asing. Industri minyak dimulai ketika De Dordtsche Petroleum
Maatschappij membangun kilang wonokromo yang merupakan unit distilasi atmosfir.
Tapi pencarian minyak sendiri pertama kali dilakukan oleh Jan Reerink pada
tahun 1871 di Cibodas Jawa Barat. Meski Aelko Zijlker pada tahun 1883 yang
menemukan ladang minyak di Langkat Sumatera Utara. Kemudian De Koninklijke pada
1891 membangun kilang pangkalan berandan untuk mengolah crude oil (Minyak
mentah) dari Sumatera bagian utara. Pada tahun 1894 De Dordtsche
Petroleum Maatschappij membangun kilang cepu untuk mengolah crude
oil, yang selanjutnya dibeli oleh British Petroleum Maatschappij tahun
1911.
Di Balikpapan, Shell Transport and Trading Company
membangun kilang Balikpapan. Pada tahun 1926 Stanvac membangun Kilang Sungai
Gerong. BPM dan Stanvac merupakan dua perusahaan minyak yang beroperasi dalam
penyediaan dan pemasaran BBM pada masa kolonial Belanda. Pada tahun 1945,
terbentuk 3 perusahaan minyak negara: Perusahaan Tambang Minyak Negara
Republik Indonesia Sumatera Utara (PTMNRI Sumatera Utara), Perusahaan Negara
Pertambangan Minyak Indonesia (Permiri) Sumsel dan Jambi, dan Perusahaan
Tambang Minyak Negara Cepu (PTMN Cepu. Tetapi hingga 1950 tinggal Perusahaan
Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMRI Sumatera Utara) dan PTMRI Cepu. Pada
22 Juli 1957 lahir Perseroan Terbatas Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara
(PT ETMSU) lalu pada 10 Desember 1957 berubah menjadi PT Perusahaan Minyak
Nasional (PT Permina) dengan Kol. Dr. Ibnu Sutowo sebagai Presiden Direkturnya.
Sebelumnya, pada Oktober 1957, KSAD Jenderal A.H. Nasution menunjuk Kolonel Dr.
Ibnu Sutowo untuk membentuk perusahaan minyak yang berstatus hukum perseroan
terbatas. Kemudian tahun 1959, NV Niam (NV Nederlans Indische Aardolie
Maatschappij) diubah menjadi PT Permindo (PT Pertambangan Minyak Indonesia).
Melalui UU No 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara,
PT. PERMINA diubah dari perseroan terbatas menjadi perusahaan negara. Melalui
UU Minyak dan Gas Bumi No. 44 tahun 1960, tanggal 26 oktober 1960, seluruh
pengusahaan minyak di Indonesia dilaksanakan oleh negara. Melalui PP No. 198
tahun 1961 di dirikan perusahaan negara dengan nama PN Pertambangan Minyak
Nasional PN Permina (PT Permina masuk kedalamnya).
Nasionalisasi yang dilakukan melalui Undang-undang No.
86/1958 tentang nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda di Indonesia,
PP 50/1959, tentang Penentuan Perusahaan-Perusahaan Perindustrian/Pertambangan
milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi, kemudian melalui Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 163 tahun 1953 tentang Nasionalisasi semua
perusahaan Listrik diseluruh Indonesia dan PP No. 018/1959 tentang Penentuan
Perusahaan Listrik Dan/Atau Gas Milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi,
melalui apa yang disebut oleh Bung karno sebagai program “Banteng”. Pada
kenyataannya tidak jatuh ketampuk kekuasaan rakyat, melainkan jatuh ke tangan
militer.
Meski telah diambil-alih, industri energi tidak
berkembang secara pesat dalam pemenuhan produksi. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal: keterbatasan modal, teknologi yang rendah dan sumber daya manusia
yang belum berkembang, serta kurangnya prespektif pembangunan secara signifikan
dan berjangka panjang dalam Industri energi—selain juga faktor-faktor politik
yang berpengaruh pada kegiatan produksi. Hal tersebut ditunjukkan dengan
produksi energi yang belum signifikan dalam kurun waktu 20 tahun. Misalnya,
pada tahun 1965 produksi tenaga listrik hanya pada tingkat 300 Megawatt.
Kondisi ini tidak berubah dalam masa pemerintahan
Soeharto, peningkatan kapasitas infrastruktur produksi, efisiensi struktur dan
manajemen produksi, serta peningkatan kualitas tenaga produktif tidak diubah
bahkan konsep diversifikasi dan konservasi energi listrik tidak disiapkan
secara serius[10]. Akibatnya, PLN pada juni 1994 dialihkan dari Perusahaan
Umum/Publik/Negara menjadi perusahaan Perseroan. Melalui kebijakan ini
kapitalis asing dapat terlibat dalam bisnis penyediaan tenaga listrik[11]. Pada
industri minyak, Pertamina yang berhasil meraup keuntungan pada masa boom
oil justru dikerdilkan oleh pemerintah melalui Inpres No. 12/1975.
Inpres ini mewajibkan seluruh penerimaan migas masuk ke rekening pemerintah
membuat modal Pertamina menjadi sangat terbatas untuk masuk ke sektor hulu.
Padahal sektor inilah yang mampu mengembangkan perusahaan migas agar menjadi
besar.
Pragmatisme diselesaikan pula dengan pragmatisme baru.
Itulah yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto, dengan mengubah PLN menjadi
persero. Hal ini merupakan gambaran politis dari struktur ideologis/kelas
kapitalis kroni yang tidak berkemampuan mengembangkan industri ini secara
mandiri. Melainkan memberikan ruang bagi capital swasta masuk
dan berkembang secara signifikan, meski (tetap) dalam monopolisasi perusahaan
“publik” pemerintahan kroni Soeharto. Meski tetap dalam monopoli perusahaan
“publik” tetapi kenyataan itu adalah awal dari strategi panjang kapitalisme
internasional untuk memonopoli perusahaan negara.
Kebijakan Ini memberikan dasar kesimpulan adanya
pragmatisme dalam konsep awal pembangunan industri energi, yang ditunjukkan
dengan tidak meningkatnya jumlah total produksi dalam kurun waktu 20 tahun
tersebut—bahkan pada kasus industri minyak yang ditahun 70-an mendapatkan
keuntungan dengan adanya oil shock justru tidak menyiapkan
prasyarat pengembangan industri minyak tersebut—tidak menjadi catatan penting
dalam peningkatan jumlah produksi energi.
Di sisi lain, pemerintah (bahkan dalam masa
pemerintahan Soeharto yang memiliki konsep Pembangunanisme) tidak memiliki
orientasi mandiri—karena memang tekanan konsep ekonominya adalah mengundang
masuknya modal asing ke dalam negeri (investasi)— dalam konteks peningkatan
pasokan (supply), pengefektifan (konservasi[12]) dan penganekaragaman
(diversifikasi[13]) industri energi. Meski pada Rencana Korporat Ketiga
(Renkorp III, 1994/1995 – 1998/1999, Pertamina menginventarisasi persoalan
kedepan—yang menjadi persoalan nyata hari ini—antara lain: peningkatan
kebutuhan BBM, Indonesia sebagai net importer, persoalan lingkungan,
diversifikasi dan konservasi energi. Tetapi kesemuanya tidak terlihat
prakteknya di lapangan untuk mengantisipasi krisis energi.
Padahal peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak dapat
dilepaskan dalam bingkai Industrialisasi Nasional, yang mensyaratkan adanya
efektifitas dan efesiensi produksi, meningkatnya jumlah dan mutu produk yang
tidak dapat dilepas dari faktor pendukungnya yaitu: pembangunan Sumber Daya
Manusia, Infrastruktur Produksi, distribusi modal yang tepat guna. Yang terjadi
justru sebaliknya: ketidakefisienan organisasi dan manajemen produksi,
pembiayaan tenaga kerja asing yang berlebih, susbsidi dan sub kontrak proyek
kepada perusahaan swasta mengakibatkan terkurasnya anggaran yang tidak perlu
sehingga capital tidak dikembangkan untuk industri tenaga
listrik. Disisi lain, cara yang digunakan pemerintah pada saat itu, malah
melahirkan raksasa-raksasa capital privat yang justru hari ini
dan kedepannya menandingi bahkan akan menguasi perusahaan negara. Permerintah
dengan capitalnya melahirkan monster yang secara perlahan dan pasti
menguasai capital publik sendiri.
14 TAHUN sejak Peraturan Pemerintah yang melegitimasi
kebijakan perubahan PLN ini dijalankan dan 33 tahun sejak pemerintah
mengkerdilkan PERTAMINA, kedua perusahaan negara ini belum mampu memenuhi
kebutuhan yang meningkat seiring dengan pertumbuhan konsumsi energi, baik untuk
rumah tangga, industri, bisnis, dan pemerintahan. Justru sebaliknya, negara
yang pernah dikenal dengan nama macan asia ini, untuk kali pertama
mengalami black out seiring dengan resesi ekonomi, pada tahun
1997, dan terus mengalamami krisis energi hingga hari ini.
Penindasan kapitalisme kroni yang membelenggu
demokrasi dan kesejahteraan dilawan oleh gerakan demokratik (Mahasiswa dan
Rakyat) dan tergulinglah rezim yang berkuasa selama kurun 32 tahun ini pada 21
Mei 1998. Ruang Demokrasi terbuka. Tapi penindasan belum selesai. Kedikaktoran
Individu (Soeharto) pun digantikan oleh kediktaktoran baru, Kediktaktoran Modal
Internasional, dengan bonekanya: Pemerintahan Agen Kedikatoran Modal
Internasional.
Liberalisasi ekonomi, yang dikhawatirkan oleh
kroni-kroni Soeharto akan membahayakan kapital mereka, kenyataannya terwujud.
Ekonomi Liberal yang sedang krisis akut, membutuhkan perluasan penghisapan dan
hambatan untuk memenuhi tujuan itu harus dilapangkan, baik di bidang politik,
hukum, sosial maupun ekonomi. Kebijakan yang dilakukan dalam ekonomi adalah memangkas
semua rintangan-rintangan yang menghambat kebebasan bagi korporasi
internasional untuk mendirikan cabang-cabang (dengan berbagai
topeng-pen) mereka di berbagai negara untuk mengeksploitasi pasar domestik
dan “melompati” dinding tarif[14].
Selanjutnya, liberalisasi melalui privatisasi berbagai
perusahaan negara dilakukan. Tentu saja dengan dalih: kebobrokan sistem dan
manajemen produksi, penciptaan iklim investasi dan penciptaan harga yang
kompetitif[15]. Senjata untuk menghancurkan rintang-rintangan proteksi tersebut
tentu saja berupa regulasi. Taktik yang digunakan, tidak berbeda seperti yang
terjadi di Amerika latin, pinjaman utang luar negeri melalui lembaga donor
beserta berkas-berkas (jebakan) kebijakan yang harus ditandatangani dalam Letter
Of Intent (LOI).
Perubahan bangunan bawah harus pula di ikuti oleh
perubahan supra-struktur, dalam kepentingan melegitimasi arah ekonomi yang
berjalan: ekonomi pasar bebas. Dalam konteks kebijakan Privatisasi, regulasi
yang sudah berjalan terjadi dalam industri minyak dan gas bumi melalui
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Pertamina, melalui PP 31/2003 juga telah
diubah statusnya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), dan melalui PP
42/2002 telah dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP
MIGAS).
Bersamaan dengan itu telah dibentuk BPH MIGAS MELALUI
PP No. 67/2002. BPH MIGAS akan berperan sangat vital karena kewenangannya
mengatur dan menetapkan ketersediaan dan distribusi BBM, cadangan BBM nasional,
dan pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan BBM. Dengan kebijakan
ini, struktur industri minyak dan gas tidak lagi terintegrasi vertikal dan
berada sepenuhnya di tangan negara. Misalnya, kegiatan hilir BBM (pengilangan,
penyimpanan, ekspor-impor dan transportasi) yang didominasi oleh Pertamina
dibuka untuk perusahaan swasta, termasuk asing. Sistem baru pengadaan BBM
nasional diperkenalkan, akan melibatkan perusahaan lama dan baru, dibawah
koordinasi Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS).
Dalam regulasi ini terjadi open access bagi
aktor-aktor pasar (semacam eufimisme bagi kapitalis) dalam
Industri hulu (upstream), transmisi & refenery, serta
industri hilir (downstream). Bukti kelapangan jalan bagi monopoli capital
asing terhadap capital publik.
Lalu apa akibat dari liberasi industri Minyak dan Gas
Bumi?
Akibat dari pelaksanaan ini antara lain:
- Pertamina,
sebagai badan usaha negara, tidak lagi memegang monopoli pengelolaan
industri Minyak dan Gas. Sehingga modal asing dapat terlibat baik pada
industri hulu, transmisi dan refinery maupun industri hilir.
Seperti yang dapat kita lihat akhir-akhir ini beberapa perusahaan minyak
skala internasional (Shell, Petronas) membuka penjualan eceran di berbagai
tempat dan dengan penetapan harga serta jenis sesuai kehendak mereka.
Hasilnya, Pertamina—sebagai badan usaha milik negara— di sektor hilir
harus berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan seperti ini di negara
sendiri.
- Rantai
Produksi Migas dari hulu ke hilir semakin panjang dan tidak terintegrasi.
Akibatnya, sering terjadi kekurangan pasokan-pasokan minyak dan gas di
suatu daerah.
- Pemecah-mecahan
produksi Migas mengakibatkan harga minyak menjadi meningkat karena
perusahaan-perusahaan swasta mengambil keuntungan, mulai dari Industri
hulu (Upstream), transmisi & refenery, serta
industri hilir (downstream). Sehingga nilai yang diterima oleh
konsumen bukanlah nilai keekonomisannya, melainkan nilai yang telah
diakumulatifkan dari rantai produksi tersebut. Tingkat harga BBM yang
tinggi membuat akses masyarakat berkurang karena faktor rendahnya daya
beli.
- Pemecahan
rantai produksi juga mengakibatkan suburnya praktek spekulan.
- Peningkatan
pasokan Minyak dan Gas bumi dititipkan pada korporasi yang berinvestasi di
sektor hulu. Tapi pada kenyataannya, korporasi internasional lebih banyak
berinvestasi di sektor hilir dan tidak menambah jumlah produksi minyak
mentahnya di sektor hulu. Program-program pengembangan eksplorasi Migas
baik dari segi teknik dan teknologi untuk menggali sumber-sumber Migas di
sumur-sumur yang lebih dalam menjadi terhambat. Artinya, impian
untuk menjadi net eksporter minyak memang hanya mimpi belaka.
- Pemerintah
harus berbagi keuntungan dengan Korporasi internasional, dalam beberapa
kontrak kerjasama prosentase Production Sharring (bagi
hasil) antara pemerintah dan perusahan tersebut besar. Akan tetapi
besarnya cost recovery yang harus dibebankan kepada
pemerintah sebenarnya menguntungkan korporasi internasional.
- Tidak
ada kedaulatan terhadap penentuan arah produksi Migas nasional, karena
setiap struktur dari badan industri Migas telah dikuasai oleh korporasi
internasional.
Dalam kasus industri Ketenagalistrikan, pemerintah
sudah mengeluarkan regulasi yang menguatkan skenario pasar bebas, melalui UU
Ketenagalistrikan No 20 Tahun 2002[16]. Dimana dalam regulasi ini arah yang
dilakukan adalah: 1) Membuka pasar tenaga listrik (dicirikan dengan
sistem multi buyer-multi seller[17]), 2) berkonsekuensi menjadi
berwatak kompetitif, 3) PLN menjadi tidak lagi terintegrasi vertikal (kohesif)
melainkan dipecah-pecah (Unbundled), 4) mengurangi otoritas Perusahaan
Listrik Negara (PLN) dalam fungsinya menyediakan listrik di tanah air[18].
Sehingga industri ketenagalistrikan akan terbagi menjadi: pembangkitan,
penjualan tegangan tinggi/menengah, transmisi, distribusi dan penjualan
tegangan rendah.
Undang-undang ini tidak sempat dijalankan sepenuhnya
(meski dalam banyak aspek, aroma kecenderungan tersebut nampak dalam blue
print pengembangan industri ketenagalistrikan 2003-2020) karena pada
15 Desember 2004 Mahkamah Konstitusi kemudian mencabut UU No 20/2002[19] dan
mengembalikan pada UU Ketenagalistrikan yang lama No 15/1985. Selanjutnya
pemerintah kembali merancang undang-undang ketenagalistrikan yang baru, tentu
saja dengan aroma yang tidak beda jauh dengan UU No. 20/2002, aroma pasar
bebas. Dan meski undang-undang yang syarat liberalisasi tersebut telah dicabut
akan tetapi Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2006[20] yang dibuat kemudian,
secara substantif memberikan porsi keterbukaan seperti yang diharapkan oleh UU
No 20 tahun 2002 dan tentunya multinational corporation sehingga
tidak mematahkan harapan kapitalis internasional.
Rendahnya pasokan listrik juga tidak bisa dilepaskan
dengan jumlah dan harga pasokan energi lain yang menunjang produksi tenaga
listrik. Pasokan minyak misalnya, sebelumnya masih sangat dominan dalam
produksi tenaga listrik. Kemudian batubara dipasok untuk industri
ketenagalistrikan dengan jumlah 22,882 juta ton. Meski sudah ada pasokan dari
batubara, tetapi produksi energi listrik masih juga memakan 6,796 Juta kilo
liter bahan bakar minyak. Sebagai catatan, bahwa dalam pemenuhan konsumsi
minyak dalam negeri pemerintah masih mengimport dari luar. Seiring
dengan kenaikan harga minyak maka jumlah dan harga energi listrik juga
menjadi semakin mahal. Hal tersebut mengakibatkan tarif listrik semakin mahal.
Terlebih penjualan minyak dan batubara serta bahan penunjang lainnya antar BUMN
ataupun tidak didalam negeri dilakukan dengan mata uang dollar.
Meski dicabut, tapi ada baiknya kita bahas apakah UU
No. 20/2002 berorientasi terhadap Industrialisasi Nasional ataukah sebaliknya?
Seperti yang disampaikan diatas dalam arah kebijakan
UU No 20/2002. regulasi tersebut mengakibatkan PLN sebagai pemegang usaha
ketenagalistrikan, telah dilucuti kewenangannya atas nama open
access, kemajuan peningkatan inventasi sebagai tolak ukur peningkatan
pertumbuhan ekonomi, serta tarif yang kompetitif. Maka, tidakkah ini adalah
bukti terjadinya denasionalisasi—Hugo Chavez, sering menyebutkan bahwa
privatisasi mengakibatkan terciptanya Negara dalam Negara yang justru merugikan
kepentingan publik.
Secara organisasional struktur industri
ketenagalistrikan juga difragmentatifkan, akibatnya antara lain: Pertama,
semakin panjangnya birokrasi suply tenaga listrik kepada
konsumen (besar, menengah, maupun kecil), sehingga akan mengakibatkan
terhambatnya distribusi. Kedua, semakin banyaknya rantai pemain
maka disisi lain akan menyuburkan praktek spekulan dalam industri
listrik. Ketiga, investasi yang terbuka dalam setiap level alur
industri mengakibatkan meningkatnya harga/tariff listrik karena semakin
banyaknya rantai pelipatgandaan tarif dalam skala kecil jika dikumulatifkan
tentu akan besar jika sudah dibebankan pada konsumen. Keempat,
keterbukaan investasi tetap tidak menyelesaikan persoalan black out,
sebab persoalan terbesar terletak pada rendahnya produksi industri hulu (up
stream) bukan sekedar pada transmisi dan distribusi. Kelima,
fragmentasi secara vertikal (pusat-daerah) juga akan mengakibatkan satu situasi
dimana terdapat daerah yang kelebihan listrik (surplus) dan daerah yang
kekurangan (defisit) suplai listrik[21]. Ini merupakan point konsistensi dari
logika desentralisasi[22] dan dekonsentrasi[23] yang menjadi skenario
neolib,yang secara politik mengakibatkan kehancuran karakter kebangsaan
(masyarakat menjadi sangat provinsialis dan sukuisme[24]) dan ketimpangan
kesejahteraan[25]. Dalam aspek harga, sistem yang kompetitif akan
mengakibatkan suplai kepada industri-industri menengah-besar, menengah-kecil
dan industri kecil tidak akan cukup mendapatkan suplai tenaga listrik sebab
dalam sistem kompetisi menerapkan sistem rimba, siapa yang terkuat (capitalnya)
dia yang akan dapat terus hidup.
Energi, merupakan salah satu industri dimana berbagai
industri lain sangat bergantung banyak dalam proses produksinya. Sehingga,
apabila harga listrik dan minyak semakin mahal, tentu biaya produksi industri
yang lainnya akan berlipat. Hal ini membuat daya saing produk dalam negeri
tidak bisa diperimbangkan dengan produk asing yang secara kualitatif lebih
baik, karena tentunya dengan teknologi yang lebih maju, dan juga dalam harga
jauh lebih murah sebab di banyak negara maju konservasi dan diversifikasi
energi listrik tidak membuat beban biaya produksi dan haraga produk tidak
meningkat. Ditambah rendahnya daya beli masyarakat maka lengkaplah pula
syarat-syarat kehancuran industri nasional, dalam bahasa lain adalah
Deindustrialisasi Nasional. Inilah perang ekonomi yang lebih terselubung itu,
lebih halus, lebih tertutup, yang dulu hanya dapat disingkapkan oleh Marx.
Sebuah metode baru yang melapangkan jalan bagi segilintir individu menguasa
perekonomian suatu negara, dan seperti diungkapkan oleh lenin, muaranya adalah
Imperialisme.
Jalan Keluar:
Dalam soal rendahnya pasokan listrik ditengah
meningkatnya kebutuhan, maka jalan keluar kita adalah:
Pertama, meningkatkan subsidi listrik untuk rumah tangga
miskin-menengah, fasilitas publik dan industri. Dan meningkatkan pajak dan
tarif untuk rumah tangga kaya yang selama ini mengkonsumsi listrik dengan jumlah
yang besar tetapi dengan harga yang mahal. Pada tahun 2002, 20% penduduk kaya
di Indonesia menggunakan tenaga listrik rata-rata perkapita sebesar 441,72
Kwh[26]. Hampir 3 kali lipatnya rata-rata konsumsi per kapita penduduk
menengah-miskin pada tahun yang sama.
Kedua, membuat aturan/regulasi konservasi energi/penghematan
energi, beserta lembaga pengontrol. Dimana penerapannya dalam kepentingan
optimalisasi industri untuk kesejahteraan rakyat. Contoh: memberlakukan standar
energi untuk AC, lampu penerangan, refrigerator, TV, Komputer.
Ketiga, mengembangkan teknologi konservasi energi.
Keempat, mengkonsentrasikan capital nasional
ditangan negara sehingga dapat mewujudkan optimalisasi industri
ketenagalistrikan (ditahun 2005 saja, PLN membutuhkan dan Rp 20 Triliun untuk
membangun infrastruktur) dengan jalan:
- Menghapuskan
utang luar negeri. Prinsip menghapuskan luar negeri bukan berarti menolak
utang luar negeri. Kita menolak utang luar negeri sebab aturan yang
mengiringi peminjaman utang tersebut menjebak (debt trap) engan
kurs mata uang yang fluktuatif, orientasi penggunaan uang yang tidak tepat
guna, penjanjian dibalik pinjaman yang mengharuskan negara debitor
menjalankan konsep ekonomi pasar bebas. Sehingga yang terjadi adalah
larinya modal nasional keluar (capital flight) Kita menerima
pinjaman dana luar negeri dalam prinsip utang yang adil (debt-fair).
- Tarik
Surat Utang Negara. Surat Utang Negara, tidak lebih subsidi yang dinikmati
para bankir, yang kebanyakan juga banker-bankir asing seperti Temasek, Farallon,
dan sejenisnya.
- Tangkap,
Adili dan Sita Harta Soeharto serta Koruptor lainnya. Tindakan ini
dilakukan dalam kasus-kasus besar seperti korupsi Soeharto dan Kroninya.
Sekaligus juga korupsi yang dilakukan di jajaran PLN dan industri yang
terkait dengannya.
- Nasionalisasi
Industri Minyak, Gas dan Pertambangan di bawah Kontrol Rakyat.
- Menghapuskan
kebijakan liberalisasi keuangan: yaitu dalam jangka pendek segera
mengeluarkan kebijakan untuk mensentralisasi devisa/dollar hasil ekspor
dari seluruh BUMN dan korporasi atau perusahaan swasta yang berdomisili
dan berbasis di Indonesia ke bank-bank yang ditentukan oleh Pemerintah.
Seluruh transaksi dan lalulintas keuangan dari dalam dan dari luar negeri
harus dikontrol. Jika kebijakan sentralisasi devisa/dollar ini sudah
berjalan efektif harus segera diikuti dengan kebijakan untuk mematok
rupiah terhadap dollar pada tingkat yang rasional. Seluruh transaksi dan
lalulintas keuangan dari dalam dan dari luar negeri harus dikontrol[27].
Kelima, dengan dijalankannya program sentralisasi kapital
ditangan negara, maka banyak yang dapat dilakukan untuk optimalisasi
pembangunan energi nasional:
- Meneliti
dan mengembangkan potensi-potensi teknologi konservasi dan diversifikasi.
- Mengembangkan
bahan bakar yang terbarukan (renewable) untuk produksi tenaga
listrik nasional. Contoh: di Juhne, Jerman dengan pupuk kandang (dari
tumbuhan-tumbuhan dan hewan), hasilnya mereka dapat memproduksi sebesar 5
Juta Kwh. Ataupun dengan penggunaan energi matahari, air ataupun panas
bumi.
Keenam, melakukan diversifikasi industri listrik dengan
mengoptimalkan potensi terbesar yang ada, yaitu pembangkit listrik panas bumi
(Geothermal).
Ketujuh, melakukan diversifikasi industri minyak dan gas.
Kedelapan, dan tentunya program-program diatas harus didukung oleh
beberapa program lainnya:
- Kampanye
dan pelatihan/pembinaan hemat energi. Agar konservasi energi tidak sekedar
regulasi, lembaga, tetapi menjadi kesadaran secara umum.
- Bekerjasama
dengan negeri-negeri yang memiliki pengalaman berhasil mengatasi krisis
listrik, seperti Jerman, Jepang dan Kuba.
- Peningkatan
kapasitas tenaga produktif dengan cara bekerjasama dengan
universitas-universitas di luar negeri yang melakukan riset dan
pengembangan dalam bidang konservasi dan diversifikasi tenaga listrik dan
minyak.
Kesembilan, pemerintahan Rakyat Miskin. Pemerintahan Rakyat Miskin
adalah pemerintahan yang selanjutnya akan menjalankan program-program demokrasi
dan kesejahteraan yang berpihak bagi rakyat miskin. Pemerintahan yang dibangun,
dijalankan, dikontrol, dipertahankan, dan diabdikan bagi kesejahteraan dan
demokrasi rakyat miskin. Mengapa? Karena rakyat miskin adalah mayoritas yang
tertindas dan di eksploitasi oleh Agen Imperialisme dan Imperialisme.
Pemerintahan Rakyat Miskin merupakan jalan keluar dari kebangkrutan
pemerintahan borjuis, ketidaksanggupannya menyediakan kesejahteraan dan
demokrasi bagi rakyat dan ketertundukkannya kepada Kekuasaan Modal
Imperialisme. Maka dari itu, program-program ekonomi-politik yang berpihak pada
rakyat miskin tidak dapat di titipkan kepada pemerintahan borjuis yang berwatak
komprador dan tunduk pada imperialisme. Watak/karakter dari Pemerintahan Rakyat
Miskin, adalah: Anti Imperialisme, Demokratik, Kerakyatan, Ekologis, Merdeka,
Modern dan Ekologis. Dengan watak ini maka komposisi dari kekuatan dalam
Pemerintahan Rakyat Miskin antara lain: Buruh, Petani, Mahasiswa dan
Intelektual Progressif, Kaum Miskin (desa dan kota).
Pemerintahan Rakyat Miskin merupakan hasil dari
persatuan gerakan rakyat yang melawan Imperialisme dan menggantikan kekuasaan
pemerintahan agen imperialis. Pemerintahan Rakyat Miskin juga merupakan
alternatif dari sistem demokrasi borjuis (Trias Politica) dengan
mendasarkan pada sistem demokrasi kerakyatan. Demokrasi kerakyatan adalah
alternatif dari segudang kebobrokan demokrasi borjuis: ketiadaan partisipasi
publik, lemahnya kontrol rakyat, pemilahan-milahan fungsi pembuat kebijakan
dengan pelaksanaan dan pengontrol kebijakan. Demokrasi kerakyatan adalah
demokrasi yang meletakkan beberapa prinsip utama yang menentukan dalam bentuk
dan mekanismenya, antara lain: Pertama, partisipasi seluruh rakyat dalam
membuat, melaksanakan, mengontrol kebijakan. Kedua, kepentingan bersama
diatas kepentingan individu. Ketiga, penyatuan kebijakan ekonomi, politik dan
sosial. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, Pemerintahan Rakyat Miskin adalah
badan organisasi yang berfungsi sebagai eksekutif, legislatif, yudikatif maupun
pertahanan negara—sehingga yang akan dikenal dalam konsep pertahanan adalah
Rakyat Tentara[28]. Sehingga efektifitas dalam pembuatan kebijakan (Politik)
dan pelaksanaan kebijakan (Sosial dan Ekonomi) akan berjalan maksimal.
Dalam Pemerintahan Rakyat Miskin tidak ada lagi satu
bagian dari masyarakat yang membuat kebijakan (kerja mental) tanpa menjalankan
(kerja manual) dan mengontrol kebijakan tersebut. Sehingga setiap individu
memiliki kesetaraan posisi dalam kerja yang selanjutnya menghasilkan suatu
kerja bersama berdasarkan kepentingan kolektif bukan kompetisi—seperti dalam
masyarakat kapitalisme. Hasil dari kerja bersama untuk kepentingan kolektif ini
selanjutnya mensituasikan suatu kesadaran/kebudayaan maju, kesadaran/kebudayaan
kerjasama. Kemudian tidak ada lagi pemisahan antara negara dan masyarakat.
Setiap individu adalah bagian dari negara yang terlibat aktif dalam membuat,
menjalankan, mengontrol kebijakan karena itu intisari dari demokrasi kerakyatan
atau partisipasi.
1. Pasal 16: Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat(2) dilakukan secara terpisah oleh badan usaha
yang berbeda.
2. Pasal 17 ayat 3: Larangan penguasaan pasar
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 meliputi segala tindakan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
antara lain meliputi: Menguasai kepemilikan, menguasai sebagian besar kapasitas
terpasang pembangkitan tenaga listrik dalam satu wilayah kompetisi, menguasai
sebagian besar kapasitas pembangkitan listrik pada beban puncak, menciptakan
hambatan masuk pasar bagi badan usaha lainnya, membatasi produk tenaga listrik
dalam rangka mempengaruhi pasar, melakukan praktek diskriminasi, melakukan jual
rugi dengan maksud menyingkirkan usaha pesaingnya, melakukan kecurangan usaha
dan atau melakukan persekongkolan dengan pihak lain.
3. Pasal 68: Pada saat Undang-undang ini berlaku,
terhadap Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dianggap
telah memiliki izin yang terintegrasi secara vertikal yang meliputi
pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik dengan tetap
melaksanakan tugas dan kewajiban penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sampai dengan dikeluarkannya Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
berdasarkan Undang-undang ini.
[21] PP NO 26/2006, merupakan perubahan dari PP No
3/2005 dan PP No 10/1989 tentang penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik.
[22] Penyediaan listrik selanjutnya menjadi
tanggungjawab Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPEPTAL) untuk wilayah
kompetisi dan Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri untuk wilayah
non-kompetisi.
[23] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah daerah.
[24] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah daerah.
[25] Provinsialisme dan Sukuisme semakin diberikan
tempat berkembang ketika proyek desentralisasi dan dekonsentrasi melalui
otonomi daerah dikembangkan secara besar-besaran. Pandangan multikulturalisme
dan pluralisme tidak akan pernah terwujud apabila konsep ekonomi dan karakter
politiknya penuh dengan pengaruh Neoliberalisme.
[26] Dalam undang-undang Perimbangan Pendapatan Pusat
dan Daerah Pasal 6 porsi pendapatan untuk daerah jauh lebih besar sehingga
mengakibatkan: 1. capital yang didapat tidak sepenuhnya bisa maksimal untuk
mengembangkan daerah lainnya (yang miskin) dan juga pembangunan industri hulu
Listrik. 2. capital yang didapat dominannya dikorupsi, ini mengakibatkan
semakin berkembangnya kapitalis birokrat,yang kedepannya tidak menguntungkan
bagi perkembangan perusahaan negara.
[27] Handbook Statistics Economy Energi of
Indonesia 2005.
[28] Rakyat Tentara adalah konsep dimana rakyat
sendiri yang berfungsi sebaga kekuatan pertahanan dan penyerangan. Adapun
tentara reguler jumlahnya sangat sedikit, dan fungsinya untuk melatih rakyat
belajar kemiliteran ataupun mengawal pejabat pemerintahan dan penjagaan gudang
makanan dan persenjataan. Konsep rakyat tentara ini dimaksudkan agar semakin
kecilnya peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dengan memanfaatkan
tentara reguler. Semakin tinggi kesadaran politik rakyat baik dalam membuat,
mengontrol dan mempertahankan negara maka akan semakin sempit peluang kekuasaan
akan melenceng.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Di Indonesia
Jakarta (16/10/2012)- Pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan salah satu pilihan dalam rangka memenuhi
kebutuhan energi nasional yang terus meningkat. Sedangkan pilihan yang lain,
yakni pemanfaatan energi baru terbarukan, seperti tenaga panas bumi, tenaga
angin, tenaga surya, tenaga air, biomassa dan hydrokinetic energy
(pemanfaatan air laut untuk energi), yang sampai saat ini belum dioptimalkan.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi yang terus
meningkat, khususnya untuk keperluan sektor industri, usaha, kebutuhan listrik
perkotaan dan pengembangan wilayah seiring dengan pertumbuhan ekonomi, maka
pembangunan PLTN di Indonesia perlu dipertimbangkan menjadi pilihan. Untuk itu,
pembangunan PLTN guna memenuhi kebutuhan industri harus dipersiapkan dari
sekarang. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik sebagai komplementer,
dapat dikembangkan pembangkit listrik tenaga dari energi baru terbarukan,
seperti panas bumi, air dan matahari.
Permasalahan pembangunan PLTN masih menjadi perdebatan
oleh para ahli. Wacana tersebut telah berubah tidak hanya menjadi masalah
energi, tapi juga masalah sosial. Sementara, pemerintah belum menentukan sikap
berkaitan dengan kebijakan pasokan energi listrik dari PLTN.
3.2 Potensi Energi Nasional
Anggota Dewan Energi Nasional yang juga merupakan Guru
Besar Universitas Indonesia, Prof. Ir. Rinaldy Dalimi, M.Sc. Ph.D
berpendapat pihaknya tidak menentang atau berantipati dengan PLTN, namun
beberapa faktor yang perlu menjadi pertimbangan dalam membangun PLTN di
Indonesia antara lain potensi energi Indonesia, kondisi geografis Indonesia,
keekonomian PLTN, penguasaan teknologi, kebijakan energi nasional, keamanan
masyarakat/negara dan lingkungan strategis.
Potensi energi nasional yang melimpah ruah memang
tidak diragukan, terutama energi terbarukan yang sangat bervariatif. Namun,
sejauh ini belum dimanfaatkan secara optimal. Besaran energi terbarukan di
Indonesia dipetakan sebagai berikut : (a). Tenaga air diperkirakan: 75,67 Giga
Watt (GW); (b). Panas bumi: 28,00 GW; (c).Biomassa: 49,81 GW; (d). Energi
laut (Hydrokinetic Energi): 240,00GW dan (e). Matahari (6-8 jam/hari): 1200,00
GW. Disisi lain juga terdapat potensi energi fosil, seperti batubara (104
Miliar Ton) dan gas bumi (384,7 TSCF) yang cenderung produksinya saat ini
diekspor sebagai sumber pendapatan negara. Disamping itu, Indonesia juga
dikenal sebagai penghasil minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO)
terbesar di dunia, dimana CPO dapat dijadikan sebagai Biofuel.
Besarnya potensi sumber daya energi baru yang berasal
dari energi laut, biomassa dan surya sangat prospektif dan menjanjikan.
Tetapi yang terjadi sebaliknya, krisis energi listrik semakin menghantui
Indonesia. Krisis energi listrik yang terjadi bukan disebabkan Indonesia
tidak mempunyai sumber daya energi primer, namun lebih disebabkan karena belum
melakukan tata kelola energi yang tepat, baik dan benar untuk memenuhi
kebutuhan energi tersebut .
Apabila PLTN menjadi pilihan di tengah ancaman krisis
energi, maka pemerintah perlu memperhatikan studi keekonomian energi listrik
yang dihasilkan oleh PLTN. Studi keekonomian PLTN yang pernah dilakukan oleh Keystone
Center 2007 di Amerika menunjukan bahwa biaya konstruksi pembangunan PLTN
bervariasi antara US$ 3600-4000/KW dengan harga listrik antara US$
8-11 cents/KWH. Sementara, studi yang dilakukan oleh Standard &
Poor's and Moody's, mendeskripsikan biaya konstruksi PLTN sebesar US$
5000-6000/KW. Sedangkan berdasarkan beberapa kontrak PLTN di Amerika dengan
menggunakan type Advanced Passive - AP 1000 diperlukan investasi
sebesar US$ 5000/KW. Apabila biaya decommissioning dan biaya
pengolahan limbah uranium dimasukan sebagai biaya investasi, maka harga
listrik PLTN pada tahun 2008 adalah sebesar US$ 7000/KW, dan harga
energi listriknya sebesar U$ 8-11cents/KWH. Sedangkan harga pada 2020
diperkirakan akan meningkat dua kali lipatnya (Moody’s Corporate Finance).
Sebagaimana diketahui, Indonesia telah memiliki Pusat
Reaktor Atom pertama di Bandung, yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada
1965. Dengan fasilitas Reaktor Penelitian tersebut, maka berdasarkan UU No. 10
Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)
dapat menyelenggarakan penelitian dan pengembangan produksi bahan baku
untuk pembuatan dan produksi bahan bakar nuklir. BATAN sudah mampu melakukan
rekayasa isotop dan hasilnya telah diekspor ke berbagai negara untuk keperluan
industri peralatan pencuci darah, pengembangan padi varietas unggul, dan
lain-lain. Saat ini Indonesia belum memproduksi uranium dan belum
mendapat ijin untuk melakukan pengayaan uranium sebagai bahan bakar
nuklir.
Kebijakan Energi Nasional 2010-2050
yang dikeluarkan Kementerian ESDM maupun Rencana Umum Pembangunan Tenaga
Listrik sampai 2025 belum menyebutkan adanya rencana pembangunan PLTN. Dalam UU
No. 10 Tahun 1997, BATAN ditugaskan untuk menguasai teknologi produksi uranium
sebagai bahan baku untuk bahan bakar nuklir. Namun ironisnya apabila
PLTN dibangun di Indonesia, maka uranium tersebut harus diimpor. Hal ini
menambah ketergantungan Indonesia dengan negara lain.
Pembangunan PLTN di Indonesia harus memperhatikan
kondisi geografis Indonesia yang beresiko tinggi, karena terletak di daerah
gempa dan pada “Ring of Fire”. Disamping itu, instalasi PLTN juga
menjadi titik terlemah dari serangan musuh dan kegiatan sabotase. Dalam konteks
keamanan negara, instalasi PLTN perlu diinformasikan dengan rinci dan apa
adanya tentang resiko apabila terjadi bencana nuklir (penguasaan teknologi,
ketergantungan dengan negara lain, bahaya radiasi yang dapat meresahkan
masyarakat, boikot negara lain, kondisi daerah bencana, SDM yang stabil secara
emosional dan variabel lainnya).
Setelah bencana Fukushima terjadi beberapa bulan lalu,
dunia mengeluarkan dana penelitian yang besar untuk mempercepat pembangunan
energi baru terbarukan, karena dunia meyakini bahwa energi tersebut merupakan
energi masa depan yang tidak beresiko terhadap kehidupan. Diprediksi pada tahun
2030 harga energi baru terbarukan sudah akan lebih murah dari harga energi
fosil dan nuklir, sehingga dunia akan beralih secara bertahap dari energi fosil
ke energi baru terbarukan. Indonesia mempunyai potensi energi fosil yang cukup
untuk menunggu keekonomian energi baru terbarukan tersebut, sehingga tidak
perlu membangun PLTN.
Pembangunan PLTN merupakan pilihan, karena Indonesia
mempunyai sumber energi lain yang lebih murah dan tidak beresiko tinggi dengan
memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara optimal. Dengan demikian, PLTN
bukan menjadi pilihan utama dalam memenuhi kebutuhan energi Indonesia.
Pandangan serta pendapat yang menyarankan PLTN bukan
dijadikan sebagai pilihan utama, bukan semata-mata menyiratkan penolakan
pembangunan PLTN. Namun, dalam hal ini yang perlu menjadi penekanan bagaimana
pemerintah dan masyarakat perlu mendapatkan informasi yang benar sebagai bahan
pertimbangan secara komprehensif untuk pengambilan keputusan tentang
pembangunan PLTN.
PLTN Untuk Dukung Stabilitas Pasokan Listrik
Dalam pandangan Kepala BATAN, Prof. Dr. Djarot
Sulistio Wisnubroto, manfaat yang dihasilkan dari penggunaan nuklir lewat
pembangunan PLTN antara lain untuk mendukung stabilitas pasokan energi
listrik, mengurangi laju pengurasan energi fosil yang cadangannya sangat
terbatas, dan mendukung pengurangan dampak akibat pemanasan global.
Energi listrik dari reaktor nuklir merupakan bagian
dari sistem bauran energi yang optimal (optimum energy mix) simbiotik -
sinergistik dengan energi fosil dan terbarukan lainnya dalam memenuhi kebutuhan
energi nasional.
Pada masa lalu penguasaan teknologi nuklir merupakan
hal yang sensitif karena berkaitan erat dengan “senjata nuklir”, hal tersebut
disebabkan oleh isu pengkayaan uranium dan olah ulang bahan bakar uranium
tersebut. Sebagai contoh, dengan memiliki kemampuan pengkayaan uranium U235
di atas 20%, berarti negara tersebut kemungkinan mampu membuat "senjata
nuklir". Sedangkan kebutuhan uranium untuk PLTN hanya membutuhkan
pengkayaan uranium sekitar 3 sampai dengan 4 %.
Pada era 1970 – 1990-an, BATAN melakukan penelitian
terhadap teknologi pengkayaan dan olah ulang uranium, baik yang
dilakukan di dalam maupun luar negeri, sehingga sumber daya manusia BATAN dapat
menguasai IPTEK ketenaganukliran. Namun ketidakjelasan program pembangunan PLTN
ke depan dan adanya inspeksi International Atomic Energy Agency (IAEA)
secara berkala yang meminta rincian program nuklir di Indonesia, menyebabkan
program dan kegiatan penelitian nuklir untuk PLTN menjadi surut.
Indonesia memiliki potensi mineral radioaktif seperti uranium,
yaitu di Kalan dan Kawat (Kalimantan) dengan total potensi sebesar 34.863 ton
U3O8 . Disamping itu, juga terdapat di 20 daerah
sumber daya spekulatif berindikasi memilki potensi yang tersebar di beberapa
pulau, siap ditingkatkan menjadi sumber daya potensial. Sedangkan sumber daya
potensial bahan baku nuklir berupa thorium, terdapat di
daerah Bangka-Belitung dan sekitarnya, dengan total potensi di Bangka Selatan
sebesar 5.487 ton. Belum lagi terdapat potensi lainnya yang berada di dasar
laut.
Adanya laju pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan
penduduk yang sebanding dengan meningkatnya kebutuhan energi, maka pemerintah
Indonesia bermaksud menerapkan bauran energi secara optimum dari berbagai
sumber energi, salah satunya yang memungkinkan dari PLTN.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal
20 September 2011 menandatangani Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011
tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Ini
merupakan tindak lanjut dari kesepakatan Bali Action Plan pada
Conference of Parties United Nations Climate Change Convention (COP
UNFCCC) ke-13 di Bali, Desember 2007. Untuk memenuhi komitmen pemerintah
Indonesia yang secara sukarela menurunkan emisi GRK 26% dengan usaha sendiri,
atau mencapai 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020.
Berdasarkan Undang-Undang No 17 Tahun 2007, pada RJPN
2005-2025 dan Keputusan Presiden No.5 Tahun 2006, mentargetkan bauran energi
sampai tahun 2025 dengan kontribusi nuklir 2% dari energi primer atau 4%
listrik (4.000 MWe). Berdasarkan regulasi yang ada, maka diharapkan Indonesia
dapat membangun 2 unit PLTN. Unit pertama direncanakan dapat beroperasi
sebelum 2020 untuk memenuhi kebutuhan bauran energi nasional, sehingga secara
strategis jangka pendek kebutuhan energi terpenuhi dan secara jangka panjang
efektif dan efisien. Namun sampai sekarang masih terjadi pro-kontra, baik di
kalangan para pakar maupun di masyarakat awam, tentang perlu tidaknya PLTN
dibangun di Indonesia .
Kegiatan yang dilakukan oleh BATAN di daerah Bangka-Belitung
merupakan studi kelayakan terhadap kemungkinan, bila suatu saat wilayah
Bangka-Belitung dijadikan tapak PLTN. BATAN sendiri tidak memiliki wewenang
membangun PLTN. Namun sebagai lembaga riset, BATAN mempunyai kewajiban
melakukan penelitian pendahuluan untuk mempersiapkan bahan kebijakan pemerintah
dalam memutuskan pembangunan PLTN. Dalam kegiatan studi tapak dan penelitian
tersebut, BATAN menghadapi resistensi dari masyarakat di Bangka-Belitung.
Pembangunan PLTN merupakan salah satu opsi untuk
memenuhi kebutuhan energi nasional. Memang, pembangunan PLTN di Indonesia
beresiko tinggi. Oleh karena itu, sebelum keputusan diambil pemerintah perlu
mempertimbangkan semua aspek secara komprehensif, bukan hanya aspek teknis
tetapi juga aspek sosial ekonomi keamanan masyarakat, lingkungan strategis dan
potensi ancaman teroris serta sabotase.
Pembangunan PLTN sebagai salah satu opsi untuk
memenuhi kebutuhan energi perlu dipertimbangkan, mengingat keperluan
energi nasional terus meningkat, rencana pembangunan PLTN perlu
disosialisasikan kepada masyarakat. Pemerintah juga perlu mendapat masukan dan
memperoleh data-data yang obyektif tentang semua aspek yang perlu
dipertimbangkan sebelum membangun PLTN. Sebagai persiapan membangun PLTN,
pemerintah perlu menetapkan salah satu kementerian atau BUMN sebagai penanggung
jawab.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan:
1.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan
yang berguna untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan saat ini tanpa perlu
merusak atau menurunkan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
2.
Pembangunan berwawasan lingkungan yang
memerhatikan keberlanjutan lingkungan hidup memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menjamin Pemerataan dan Keadilan.
2. Menghargai Keanekaragaman Hayati
3. Menggunakan Pendekatan Integratif
4. Menggunakan Pandangan Jangka Panjang
- Bahwa hambatan dalam pencapaian pembangunan yang
berkelanjutan adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, keamanan dan
ketertiban, dan sebagainya.
- Bahwa masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan
hidup yang terjadi di suatu kawasan tertentu memperlihatkan bahwa kawasan
itu sedang dalam proses tidak berkelanjutan.
- Kemiskinan dan fungsi-fungsi lingkungan hidup
yang telah hilang atau rusak, tercemar, itu merupakan ancaman terhadap
proses pembangunan berkelanjutan. Ancaman tersebut tidak hanya terjadi di
kawasan itu saja, tetapi juga akan mempengaruhi sub-sub sistem lain yang
membentuk kawasan itu
4.2
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka adapun saran bagi
pemerintah agar dapat menerapkan sistem pembangunan yang berkelanjutan seperti
di negara-negara maju lainnya dengan jalan menanggulangi kemiskinan serta
meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta keamanan dan ketertiban guna
menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya di Indonesia sehingga dapat
dirasakan bukan hanya untuk di masa sekarang melainkan juga untuk generasi yang
akan datang.