Chibi Captain America

Selasa, 09 Desember 2014

PERSOALAN PEMBANGUNAN ENERGI DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

 Merupakan suatu kenyataan bahwa kebutuhan akan energi, khususnya energi listrik di Indonesia, makin berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari seiring dengan pesatnya peningkatan pembangunan di bidang teknologi, industri dan informasi. Namun pelaksanaan penyediaan energi listrik yang dilakukan oleh PT.PLN (Persero), selaku lembaga resmi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola masalah kelistrikan di Indonesia, sampai saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan energi listrik secara keseluruhan. Kondisi geografis negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan, tersebar dan tidak meratanya pusat-pusat beban listrik, rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa wilayah, tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi listrik (Ramani,K.V,1992), serta terbatasnya kemampuan finansial, merupakan faktor-faktor penghambat penyediaan energi listrik dalam skala nasional.
Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak bumi, yang sampai saat ini masih merupakan tulang punggung dan komponen utama penghasil energi listrik di Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari altematif penyediaan energi listrik yang memiliki karakter yaitu :
  1. dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil, khususnya minyak bumi
  2. dapat menyediakan energilistrik dalam skala lokal regional
  3. mampu memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, serta
  4. cinta lingkungan, dalam artian proses produksi dan pembuangan hasil produksinya tidak merusak lingkungan hidup disekitarnya.
Sistem penyediaan energi listrik yang dapat memenuhi kriteria di atas adalah sistem konversi energi yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, seperti: matahari, angin, air, biomas dan lain sebagainya (Djojonegoro,1992). Tak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumber-sumber daya energi terbarukan dewasa ini telah meningkat dengan pesat, khususnya di negara-negara sudah berkembang, yang telah menguasai rekayasa dan teknologinya, serta mempunyai dukungan finansial yang kuat. Oleh sebab itu, merupakan hal yang menarik untuk disimak lebih lanjut, bagaimana peluang dan kendala pemanfaatan sumber-sumber daya energi terbarukan ini di negara-negara sedang berkembang, khususnya di Indonesia.

1.2 Energi
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia membutuhkan energi. Energi disebut juga sebagai tenaga. Definisi energi adalah kemampuan untuk melakukan usaha. Tindakan berangkat ke sekolah, mengayuh sepeda, bermain, dan berolahraga memerlukan energi. Menurut wikipedia, macam-macam bentuk energi yang dikenal dalam kehidupan manusia saat ini adalah:
1. Energi panas
Energi panas adalah energi yang dimiliki oleh benda yang panas. Benda yang terbakar menghasilkan panas. Panas disebut juga kalor. Panas merupakan salah satu bentuk energi. Lilin yang menyala dapat memutar kertas spiral yang bergantung di atasnya. Hal tersebut membuktikan bahwa lilin yang sedang menyala memiliki energi panas.
2. Energi bunyi
Energi bunyi adalah energi yang ditimbulkan oleh benda yang mengeluarkan bunyi. Bunyi dihasilkan dari getaran. Bunyi kuat dihasilkan dari getaran yang kuat. Contoh bunyi yang kuat adalah halilintar, petasan dan bom. Bunyi yang kuat menghasilkan energi yang besar. Bunyi kuat dapat memekakkan telinga, menggetarkan dan bahkan memecahkan kaca jendela.
3. Energi kinetik
Energi kinetik adalah energi yang dimiliki oleh benda yang sedang bergerak. Contoh benda yang bergerak dan menghasilkan energi kinetik antara lain kincir angin dan dinamo sepeda. Kincir angin dimanfaatkan oleh manusia untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik. Sementara itu, putaran roda sepeda mampu memutar dinamo sepeda dan menghasilkan energi listrik untuk menyalakan lampu sepeda.
4. Energi potensial
Energi potensial adalah energi yang tersimpan dalam suatu benda. Ketapel yang teregang mempunyai energi potensial. Energi tersebut sewaktu-waktu dapat dilepaskan. Contoh benda yang memiliki energi potensial selain ketapel adalah per yang teregang, busur anak panah yang teregang, dan lain-lain. Energi potensial yang ada pada per disebut sebagai energi potensial pegas.


5. Energi listrik
Energi listrik adalah energi yang tersimpan dalam benda yang bermuatan listrik. Energi yang dihasilkan oleh arus listrik mampu menjalankan motor listrik. Contohnya lampu listrik, kipas angin, seterika listrik, dan pompa air listrik.
6. Energi cahaya
Kapas yang diletakkan di bawah lensa cembung yang terkena sinar matahari dapat terbakar. Mengapa demikian? Karena cahaya matahari yang dikumpulkan oleh lensa cembung dapat memanaskan kapas sampai terbakar.
7. Energi kimia
Energi kimia adalah energi yang tersimpan dalam bahan kimia. Energi kimia terdapat dalam berbagai bahan kimia, seperti baterai, aki, makanan, dan bahan bakar. Sebagian bahan kimia tersebut bisa digunakan untuk menghasilkan energi listrik.1.3 Potensi Energi Nasional
















1.3 Potensi Energi Nasional
Description: http://www.esdm.go.id/thumbs/cl/320/stories/general/wamen%20tabel%201.jpg
Terdapat beberapa anggapan yang keliru mengenai energi di Indonesia diantaranya: 1. Indonesia adalah Negara yang kaya minyak, padahal tidak. Kita lebih banyak memiliki energi lain seperti batubara, gas, CBM (Coal Bed Methane), panas bumi, air, BBN (Bahan Bakar Nabati) dan sebagainya, 2. harga BBM (Bahan Bakar Minyak) harus murah sekali tanpa berpikir bahwa hal ini menyebabkan terkurasnya dana Pemerintah untuk subsidi harga BBM, ketergantungan kita kepada BBM yang berkelanjutan serta kepada impor minyak dan BBM yang makin lama makin besar serta makin sulitnya energi lain berkembang, 3. investor akan datang dengan sendirinya tanpa perlu kita bersikap bersahabat dan memberikan iklim investasi yang baik,  4. peningkatan kemampuan Nasional akan terjadi dengan sendirinya tanpa keberpihakan Pemerintah.Potensi Energi Nasional 2010 (Sumber: ESDM  2011) diberikan pada Tabel 1 yang terdiri dari energi fosil dan energi non fosil. Terlihat bahwa cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,7 milyar barel.  Justru, kita lebih banyak memiliki energi non minyak.  Tabel 1 Potensi Energi Nasional 2010.






Migas di Indonesia

Indonesia memproduksi minyak sebesar 345 juta barel, mengekspor minyak mentah sebesar 130 juta barel, mengimpor minyak mentah sebesar 103 juta barel dan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 124 juta barel pada tahun 2010 (Sumber ESDM 2011) dan mengkonsumsi 423 barel. Terdapat defisit sebesar 97 juta barel per tahun. Cadangan terbukti minyak kita hanya 3,7 milyar barel atau 0,3 % cadangan terbukti dunia. Sebagai Negara net importer minyak dan yang tidak memiliki cadangan terbukti minyak yang banyak, kita tidak bijaksana apabila mengikuti harga BBM murah di Negara-negara yang cadangan minyaknya melimpah.

Tabel 2 memperlihatkan Produksi & Cadangan, Revenue, Cost Recovery, R/C dan Penerimaan Negara Migas (Sumber: BP Migas 2010). Dapat dilihat bahwa penemuan cadangan minyak sedikit sekali mulai tahun 2003, Akibatnya, produksi kita turun menjadi dibawah 1 juta barel per hari. Memang biaya (Cost Recovery) meningkat dari tahun ke tahun berikutnya, tetapi Harga Minyak, Gross Revenue, Revenue to Cost Ratio dan Penerimaan Negara juga meningkat dari tahun ke tahun berikutnya. 

Tabel 2 Produksi & Cadangan, Revenue, Cost Recovery, R/C dan Penerimaan Negara Migas 
 
Cadangan dan produksi minyak yang turun tidak dapat diinterpretasikan dengan minyak kita sudah habis atau prospek eksplorasi di Indonesia rendah, karena di Malaysia telah ditemukan prospek Kikeh di laut dalam dengan cadangan 1 Milyar BOE (Barrel of Oil Equivalent) sehingga laut dalam di Indonesia terutama selat Makasar menjadi perhatian perusahaan-perusahaan raksasa. Proyek-proyek raksasa LNG (Liquefied Natural Gas) di Australia yang sedang dikembangkan adalah Evans Shoal, Gorgon, Ichthys, Pluto, Browse dan Bay Undan, sedangkan di Indonesia hanya Tangguh. Perlu dicatat bahwa Australia termasuk low risk dan Malaysia adalah medium risk. Informasi ini diperoleh dari Top 135 Projects yang diterbitkan oleh GSRI, 2007.9 Tingginya resiko di Indonesia mengakibatkan perusahaan-perusahaan migas hanya berkonsentrasi pada mempertahankan produksi lapangan-lapangan yang sudah ada, akibatnya produksi turun. Perlu usaha untuk memperbaiki keadaan tersebut degan mengundang investor guna meningkatkan cadangan dan produksi migas di Indonesia. 

Mengundang investor adalah seperti mengundang pelanggan untuk rumah makan. Seseorang akan menjadi pelanggan  apabila dia tahu, sehingga promosi penting. Promosi saja tidak cukup karena pelanggan tersebut tidak akan datang lagi apabila yang dipromosikan tidak sesuai dengan kenyataan. Rumah makan hanya akan laku apabila makanannya enak, harganya bersaing, pelayanannya dan lingkungannya baik. 



Perlu Peningkatan Kualitas informasi untuk wilayah kerja yang ditawarkan, dengan seismik serta studi geofisika dan geologi yang lebih baik. Harga bersaing dapat dianalogikan dengan sistem fiskal yang menarik. Kontrak bagi hasil dan Kontrak lainnya akan bermasalah apabila  tidak dijiwai kemitraan (partnership) atau pelayanannya tidak baik. 


Perlu sistem fiskal yang fleksibel dan lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko kontraktor dengan memberikan Bagian Pemerintah  atau GT (Government Take) yang kecil untuk R/C (Revenue/Cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C yang besar yang berlaku untuk minyak, gas dan CBM (Coal Bed Methane) supaya Kontraktor lebih bersemangat untuk mengembangkan prospek perminyakan biaya tinggi seperti daerah terpencil dan laut dalam, proyek EOR dan lapangan-lapangan yang menengah dan kecil seperti di Malaysia dan Negara-negara lain.

Pada masa lalu sistem fiskal yang  Bagian Pemerintahnya tetap berapapun keuntungannya tidak mempunyai masalah karena  kegiatan-kegiatan dilakukan di daratan dan laut dangkal, primary recovery dan lapangan yang relatif besar. 

Kontrak Bagi Hasil memerlukan perlakuan lex specialist karena Pemerintah mendapat bagian yang sangat tinggi yaitu 85 persen untuk minyak dan 70 persen untuk gas dari Pendapatan Bersih yaitu Revenue dikurang Cost Recovery. Sebaiknya, tidak dikenakan pungutan-pungutan tambahan. Cost recovery  adalah untuk meningkatkan produksi dan dibayar oleh pendapatan dari produksi yang juga berlaku di pajak biasa. Membatasi cost recovery dapat membatasi produksi. Eksplorasi belum tentu menemukan minyak. Mengenakan pajak pada waktu eksplorasi akan menurunkan peringkat investasi Indonesia. 

Perlu peningkatan pelayanan untuk Penawaran Wilayah Kerja dan POD Pertama serta untuk Persetujuan WP&B dan POD.  

Perlu diatasi  permasalahan- permasalahan yang terdapat di daerah operasi, yaitu: 1. Pembebasan Tanah 2. Kehutanan 3. Masalah perijinan dan biokrasi, 4. Desentralisasi, 5. Koordinasi Pembebasan tanah sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah dan Kontraktor yang membayarnya. Dalam pandangan sebagian Masyarakat, Kontraktor itu kaya dan serakah sehingga selayaknya dimintai sebanyak-banyaknya.





Perlu disadari kegiatan Migas dan Panasbumi tidak seperti kegiatan Pertambahan Umum yang mengelupas tanah sehingga membutuhkan lahan yang luas. Disini kegiatannya adalah mengebor tanah. Pada waktu diskusi Panasbumi di Universitas Udayana Bali didapat informasi bahwa Proyek Panasbumi di Bedugul hanya membutuhkan lahan seluas 80 hektar. Lebih baik Perusahaan Migas diperbolehkan untuk melakukan kegiatan di hutan tetapi diberi tugas untuk membantu menanam pohon disitu.  

Perlu disadari bahwa perusahaan yang melakukan pemboran di laut selalu berpindah. Misal, sekarang di Indonesia, kemudian ke Vietnam dan berikutnya ke Afrika. Cabotage yang mengharuskan kapal yang beroperasi di Indonesia harus berbendera di Indonesia mempersulit usaha perminyakan di offshore. Padahan 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri dari laut.

Di Indonesia ada sindiran: “Kalau bisa dipersulit kenapa tidak”.8. Ijin kadang-kadang dipersulit dengan maksud supaya mendapat upeti sehingga biaya menjadi lebih mahal. Disamping itu Perusahaan Multinasional kebanyakan melarang penyogokan sehingga Ijin menjadi berlarut- larut.

Desentralisasi (kewajiban dan dana) sebaiknya tidak hanya berhenti di tingkat elit saja. 40% Bagian Kabupaten Penghasil (40% Bagian Daerah) sebaiknya diberikan ke Kecamatan Penghasil, lebih lanjut 40% Bagian Kecamatan Penghasil diberikan ke Kelurahan Penghasil sehingga rakyat bisa menikmati manfaat dari kegiatan migas di depan matanya. Akibatnya rakyat akan mendukung dan bukan menghambatnya. 

Perlu peningkatan kualitas aturan hukum, stabilitas politik, kepastian regulasi, sistem birokrasi dan informasi di lingkungan ESDM dan koordinasi antar institusi terkait (Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Bappenas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri dan lain lain)  serta antar Pusat dan Daerah dan antar Daerah di bidang migas. 

Peningkatan Kemampuan Nasional migas akan terjadi apabila terdapat keperpihakan pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan nasional dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan. Tidak tertutup kemungkinan tetap bekerjasama dengan Operator sebelumnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah pinjaman dari bank nasional untuk membiayai kegiatan produksi energi nasional dengan kehati-hatian. Perlu ditingkatkan partisipasi Indonesia untuk kegiatan migas Internasional. 

Perlu dijajagi kemungkinan Kerjasama Energi di Luar Negeri baik untuk minyak dan gas. Untuk minyak dengan Negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Untuk gas misal dengan Iran yang memiliki cadangan gas nomor dua terbesar di dunia yaitu 982 TCF, Algeria 159 TCF, Nigeria 187 TCF sedangkan Indonesia mempunyai pengalaman memproduksikan gas dan LNG lebih dari 30 tahun. Dengan membantu memproduksikan gas dan LNG dari Iran, Algeria, Nigeria dan negara-negara lain. maka Indonesia bisa mendapatkan Bagi Hasilnya sehingga dapat mengimpor gas. Lebih baik mengimpor gas daripada mengimpor minyak dan BBM karena harganya lebih murah. Perlu dicatat Negara tetangga kita, Australia, mempunyai cadangan gas 89 TCF dengan penduduk sedikit. Syarat untuk mengimpor gas adalah adanya LNG Receiving Terminal. 



Energi di Indonesia

Produksi dan Cadangan Terbukti Minyak kita turun terus. Walaupun cadangan terbukti gas kita empat kali lipat cadangan Minyak tetapi program konversi Minyak ke Gas Domestik tidak berjalan mulus. Program 10.000 MW PLTU (Uap) Batubara tidak berjalan mulus dan sebagian besar produksi batubara kita diekspor. PLTA (Air)  di luar Jawa kurang berkembang. Program Bahan Bakar Nabati tidak berjalan seperti yang diharapkan.  PLTS (Surya) dan PLTB (Bayu) banyak yang tidak berfungsi lagi. Berarti ada yang tidak pas di Negeri ini. Marilah kita evaluasi satu per satu.  

Minyak kurang berkembang karena sistem fiskal dan iklim investasi yang kurang menarik. Gas kurang termanfaatkan untuk domestik karena harga domestik yang tidak menarik dan tidak disiapkannya infrastruktur dimasa lalu. Batubara 10.000 MW kurang berkembang karena terdapat masalah  negosiasi, birokrasi dan koordinasi. Kebanyakan batubara diekspor karena harga domestik yang kurang menarik dibandingkan harga ekspor. PLTA kurang berkembang karena masalah birokrasi, koordinasi, promosi dan kemauan politik untuk mengembangkan industri di luar Jawa. Panasbumi kurang berkembang karena harga domestik yang tidak menarik di masa lalu. Bioenergi kurang berkembang karena masalah harga, peraturan, insentif, birokrasi, koordinasi  dan litbang. Surya dan bayu tidak terawat karena kurang dikembangkan litbang dan Kemampuan Nasional disamping masalah birokrasi dan koordinasi. Konservasi kurang berhasil karena harga energi murah, peraturan (kurangnya insentif untuk penghematan energi),kurangnya transportasi umum yang baik dan kurangnya dukungan bagi litbang serta kurangnya peningkatan kemampuan nasional untuk itu. 

Menurut International Sustainable Energy Organization (ISEO) Biaya Energi Terbarukan seperti Energi Surya, Energi Angin, Panasbumi, Arus Laut dan Hidrogen akan turun di masa depan, sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Tenaga Air (PLTA) akan naik (walaupun masih tetap rendah). Biaya Energi Tak Terbarukan seperti Minyak, Gas, Batubara dan Nuklir akan naik  di masa depan. 

German Working Party, 2004 memperkirakan Biaya Energi sampai tahun 2050 (Gambar 1) termasuk menggunakan Geocogen (Geothermal deepwell energy cogeneration) dan SBSP (Space Based Solar Power). Juga diperkirakan True Energy Cost dengan memperhitungkan Resiko, Biaya Lingkungan dan Carbon Credit (Sumber: Gustav R. Grob (ISEO Executive Secretary dan ICEC President).  ISEO adalah International Sustainable Energy Organization sedangkan ICEC adalah International Clean Energy Consortium. Judul makalahnya adalah “Energy Status Quo and Technology towards Clean Energy”, Chengdu, China, September 28, 2010).

Batubara bisa lebih bersih lingkungan, konsekuensinya biayanya lebih mahal. Batubara bisa dibuat cair (Coal To Liquid atau CTL) atau dijadikan gas. Gas bisa dibuat cair (Gas To Liquid atau GTL). Gas bisa diperoleh dari Gas Alam (Potensi 335 TCF), dari CBM (Potensi 454 TCF), Shale Gas dan dari Methane Hydrate (Potensi 625 TCF).

International Energy Agency atau IEA di Paris tahun 20115 memberikan Electricity Generation Costs  2010 dan Perkiraan 2050 (Tabel 3). 

Tidak benar kalau energi nuklir sangat aman karena disamping Chernobyl dan Three Mile Island, di Amerika Serikat 27 dari 104 reaktor nuklirnya pernah bocor (Tobi Raikkonen, 12 Maret 2010). Menurut USA Today 17 Juli 2007 di Jepang terjadi kebocoran nuklir 1997-2007 sebanyak 8 kali. Apalagi kemudian terjadi tragedi Fukushima (2011). Banyak Negara2 Eropa yang menutup PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) nya 2020. 
Penanganan dan penyimpanan limbah Uranium yang benar adalah mahal dan kalau tidak benar berbahaya. Perancis bisa membantu  memproses limbah Uranium tetapi limbah terakhirnya tetap dikirim ke Negara asal yang mempunyai PLTN.

Andaikata Nuklir ingin dikembangkan segera maka paling cepat  dioperasikan pada 2021 karena memerlukan 10 tahun untuk merealisasikan PLTN  seperti  di Malaysia. Sebaiknya Indonesia bekerjasama dengan Singapura dan Malaysia (lebih baik bila juga dengan Negara-negara Asean lainnya). Lokasi pembangkitan nya bisa di Pulau kosong di Indonesia dekat Singapura. Makin banyak Negara2 yang mengawasi diharapkan makin aman dan makin banyak Negara2 yang memakai makin murah. 

Hal-Hal yang Perlu Dilakukan:

Kita perlu meningkatkan cadangan dan produksi migas, meningkatkan pemanfaatan energi non migas di daerah-daerah, mengurangi subsidi harga energi dan meningkatkan kemampuan nasional.





A.    Meningkatkan Cadangan dan Produksi Migas:
Meningkatkan cadangan migas dapat dilakukan dengan meningkatkan eksplorasi migas untuk menemukan lapagan –lapangan baru dan meningkatkan Enhanced Oil Recovery  di lapangan-lapangan yang sudah ada: 
 
1. Meningkatkan Eksplorasi Migas dimana Indonesia mempunyai Potensial resources sebesar 56 Milyar Barel. Perlu disadari bahwa Resources ini tidak akan jadi Proven Reserves tanpa Eksplorasi. Apabila terdapat Investasi untuk Eksplorasi sehingga setengah dari Potensi tersebut dapat menjadi terbukti maka terdapat tambahan Cadangan sebesar 28 milyar barel. Perlu dicatat bahwa eksplorasi di laut dalam, daerah terpencil dan pemboran dalam lebih mahal. Hal-hal yang perlu dilakukan:

  • Perlu sistem Fiskal yang lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko kontraktor dengan memberikan bagian pemerintah  atau GT (Government Take) yang kecil untuk R/C (Revenue/Cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C yang besar yang berlaku untuk minyak, gas dan CBM (Coal Bed Methane).
  • Meningkatkan Kualitas Pelelangan dan Informasi Wilayah Kerja yang ditawarkan (dengan studi Geofisika dan Geologi yang lebih baik) supaya diperoleh Perusahaan-perusahaan Migas yang Bonafide.
  • Meningkatkan Iklim Investasi Migas dengan Regulasi dan Birokrasi serta Koordinasi antar Institusi dan Birokrat yang mendukungnya. Perlu diatasi  permasalahan- permasalahan yang terdapat di daerah operasi, yaitu: 1. Pembebasan Tanah 2. Kehutanan 3. Masalah perijinan dan biokrasi, 4. Desentralisasi, 5. Koordinasi.
  • Perlu peningkatan kualitas aturan hukum, stabilitas politik, kepastian regulasi, sistem birokrasi dan informasi di lingkungan ESDM dan koordinasi antar institusi terkait (Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Bappenas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri dan lain lain)  serta antar Pusat dan Daerah dan antar Daerah di bidang migas.
2. Meningkatkan Enhanced Oil Recovery (EOR) di Lapangan-lapangan  Produksi yang mempunyai Remaining Oil in Place sebesar 60 milyar Barel. Artinya kalau kita dapat memproduksikan setengahnya saja dengan EOR maka kita kita mendapat tambahan Cadangan Terbukti sebesar 30 milyar barel. Perlu dicatat bahwa biaya EOR lebih mahal. Yang perlu dilakukan:
  • Mendanai Peningkatan Penelitian EOR di Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian terutama yang sudah melakukannya.
  • Mewajibkan Kontraktor Migas untuk Studi Potensi EOR dan melakukan Pilot EOR dengan memberi kesempatan kepada Institusi Domestik.
  • Memberi Insentif bagi Penambahan Produksi akibat EOR.  
B. Meningkatkan Pemanfaatan Energi Non Migas di daerah: 

Perlu dibuat peta dan perkiraan potensi energi non migas yang lebih rinci disetiap daerah. Perlu ditawarkan kepada investor pengembangan energi tersebut. Apabila di daerah tersebut diketahui kekurangan permintaan energi maka diundang investor untuk mengembangkan industri di daerah tersebut sehingga diciptakan permintaan energi dan lapangan pekerjaan. Untuk itu perlu ditingkatkan kemampuan daerah secepat mungkin dengan Pejabatnya mengikuti workshop Analisis Kebijakan dalam jangka pendek dan mengirim Pejabatnya mengambil S2 baik di dalam dan di luar negeri. serta meningkatan kualitas pendidikan dasar, menengah dan tinggi di daerah. Perlu diperbanyak desa mandiri pangan dan energi. Tanggung jawab  lingkungan fisik dan sosial dibagi Daerah dan Perusahaan mengingat Daerah juga mendapat dana dari energi.
 


C. Membereskan Masalah Listrik

Perlu menfasilitasi PLN agar kontraktor bisa menyelesaikan proyek 10.000 MW Tahap 1dan belajar dari kendala-kendala Tahap 1 kita selesaikan 10.000 MW Tahap 2 lebih baik dan lebih cepat. Wajib memakai bahan bakar non BBM (batubara, gas, panasbumi dan enegi terbarukan lainnya) untuk mengurangi subsidi BBM dan biaya listrik. Perlu dioptimalkan penggunaan energi domestik. Kalau perlu kita bisa mengimpor gas karena mengimpor gas lebih murah dari mengimpor BBM.

D. Mengurangi Subsidi Harga Energi 

Perlu digantinya penggunaan BBM  untuk energi tidak hanya untuk listrik, tetapi juga untuk transportasi, rumah tangga dan industri. Apabila Indonesia bisa memakai energi yang lebih murah sebagai pengganti BBM (yang mahal) maka dapat dihemat paling tidak seratus trilyun rupiah. Pada tahun 2009 BBM untuk transportasi 37,2  milyar liter (l), rumah tangga 4,7 milyar liter, industri 9,8 milyar l, listrik 8,9 milyar l dan ABRI 0,5 milyar l. Apabila harga BBM Rp 8.000 per liter dan bisa mengganti 80% transportasi dengan BBG seharga Rp 4.000 per liter setara premium akan menghemat Rp 4.000 per liter atau Rp 119 trilyun. Kalau bisa mengganti 80% memasak dengan LPG seharga Rp 4.000 per liter setara minyak tanah akan menghemat Rp 4.000 per l atau Rp 15  trilyun dan kalau dengan Gas Kota di Kota-kota besar akan lebih menghemat lagi. Kalau bisa mengganti 80% BBM untuk listrik dengan energi lain akan menghemat Rp 5.300 per liter atau Rp 38 trilyun. Dana yang dihemat lebih dari 170 trilyun untuk harga BBM Rp 8.000 per liter Dana tersebut dapat digunakan untuk pembagunan infrastruktur dan mengembangkan kemampuan Migas dan Energi Nasional serta Kemampuan Nasional lainnya sehingga menciptakan banyak Lapangan Kerja.   

Secara bertahap perlu dinaikkan Harga BBM dan disaat yang sama disediakan Energi Alternatif Non BBM serta ditingkatkan Penggunaan Transportasi Umum yang nyaman  serta perlu Insentif untuk Kendaraan dan Peralatan Hemat Energi. 
 
E. Peningkatan Kemampuan Nasional

Peningkatan Kemampuan Nasional migas akan terjadi apabila terdapat keperpihakan pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan nasional dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan. Tidak tertutup kemungkinan tetap bekerjasama dengan Operator sebelumnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah pinjaman dari bank nasional untuk membiayai kegiatan produksi energi nasional dengan kehati-hatian. Perlu ditingkatkan partisipasi Indonesia untuk kegiatan migas Internasional.




B.     Rumusan Masalah
Dari pembahasan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penulisan ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan energi ?
2.   Apa macam dan bentuk energi ?
3.      Bagaimana masalah Pembangunan energi ?
4.   Bagaimana cara menyelasaikan masalah pembangunan energi ?

C.    Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan penulisan ini adalah :
1.      Untuk mengidentifikasi energi
2.   Untuk mengetahui macam dan bentuk energi
3.   Untuk mengetahui apa masalah pembangunan energi
4.    Untuk mengidentifikasi cara menyelesaikan masalah pembangunan energi





BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia
Ramalan Kebutuhan dan Ketersediaan Energi Listrik di Indonesia
Dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dalam sepuluh tahun terakhir, skenario "export-import" dan pertumbuhan penduduk, pada tahun 1990 diramalkan bahwa tingkat pertumbuhan kebutuhan energi listrik nasional dapat mencapai 8,2 persen rata-rata per tahun, seperti ditunjukkan dalam tabel-1 berikut.
Tabel-1
Ramalan Kebutuhan Energi Listrik
Sektor
1990
2000
2010

GWh
persen
GWh
persen
GWh
persen

Industri
35.305
68,0
84.822
69,0
183.389
70,0

Rumah tangga
9.865
19.00
22.2392
18.0
40.789
16.0

Fasilitas umum
3.634
7,0
6.731
6.0
12.703
5.5

Komersial
3.115
6.0
8.811
7,0
21.869
8.5

Total
51.919
100.0
122.603
100.0
258.747
100.0

Kebutuhan energi listrik tersebut diharapkan dapat dipenuhi oleh pusat-pusat pembangkit listrik, baik yang dibangun oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1990 kebutuhan energi listrik sebesar 51.919 GWh telah dipenuhi oleh seluruh pusat pembangkit listrik yang ada dengan kapasitas daya terpasang sekitar 22.000 MW. Sehingga pada tahun 2010 dari kebutuhan energi listrik, yang diramalkan mencapai 258.747 GWh per tahun, diharapkan dapat dipenuhi oleh sistem suplai energi listrik dengan kapasitas total sebesar 68.760 MW, yang komposisi sumber daya energinya seperti diperlihatkan dalam tabel-2









Tabel-2
Prakiraan Penyedian Energi Listri di Indonesia
Sumber Energi
1990
2000
2010

MW
persen
MW
persen
MW
persen

Batubara
Gas
Minyak
Solar
Panas Bumi
Air
Biomass
Lain-lain
(Surya Angin)
1.930
3.530
2.210
11.020
170
2.850
270
20
8.8
16.0
10.0
50.1
0.8
13.0
1.2
0.1
10.750
7.080
1.950
9.410
500
7.720
290
160
28.4
18.7
5.2
24.8
1.3
20.4
0.8
0.4
28.050
14.760
320
4.060
430
10.310
460
370
35.3
21.5
0.5
5.9
0.6
15.0
0.7
0.5

Total
22.000
100.0
37.860
100.0
68.760
100.0

Dari tabel-2 ini tampak jelas terlihat, bahwa penggunaan minyak bumi, termasuk solar/minyak disel, sebagai bahan bakar produksi energi listrik akan sangat berkurang, sebaliknya pemanfaatan sumber-sumber daya energi baru dan terbarukan, seperti air, matahari, angin dan biomas, mengalami peningkatan yang cukup tajam. Kecenderungan ini tentu akan terus bertahan seiring dengan makin berkurangnya cadangan minyak bumi serta batubara, yang pada saat ini masih merupakan primadona banan bakar bagi pembangkit listrik di Indonesia.
Akan tetapi sejak tahun 1992 kebutuhan energi listrik nasional meningkat mencapai 18 persen rata-rata per tahun, atau sekitar dua kali lebih tinggi dari skenario yang dibuat pada tahun 1990. Hal ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi nasional kaitannya dengan pertumbuhan industri dan jasa konstruksi. Jika keadaan ini terus bertahan, berarti diperlukan pula pengadaan sistem pembangkit energi listrik tambahan guna mengantisipasi peningkatan kebutuhan tersebut. Dilema yang timbul adalah bahwa di satu sisi, pusat-pusat pembangkit energi listrik yang besar tentu akan diorientasikan untuk mencukupi kebutuhan beban besar, seperti industri dan komersial. Di sisi lain perlu juga dipikirkan agar beban kecil, seperti perumahan dan wilayah terpencil, dapat dipenuhi kebutuhannya akan energi listrik. Salah satu alternatif yang dapat diupayakan adalah dengan membangun pusat-pusat pembangkit kecil sampai sedang yang memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, khususnya sumber daya energi baru dan terbarukan.





Peluang Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia
  1. Menipisnya cadangan minyak bumi
Setelah terjadinya krisis energi yang mencapai puncak pada dekade 1970, dunia menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak bumi, sebagai salah satu tulang punggung produksi energi terus berkurang
Bahkan beberapa ahli berpendapat, bahwa dengan pola konsumsi seperti sekarang, maka dalam waktu 50 tahun cadangan minyak bumi dunia akan habis. Keadaan ini bisa diamati dengan kecenderungan meningkatnya harga minyak di pasar dalam negeri, serta ketidak stabilan harga tersebut di pasar internasional, karena beberapa negara maju sebagai konsumen minyak terbesar mulai melepaskan diri dari ketergantungannya kepada minyak bumi sekaligus berusaha mengendalikan harga, agar tidak meningkat. Sebagai contoh; pada tahun 1970 negara Jerman mengkonsumsi minyak bumi sekitar 75 persen dari total konsumsi energinya, namun pada tahun 1990 konsumsi tersebut menurun hingga tinggal 50 persen (Pinske, 1993).
Jika dikaitkan dengan penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar sistem pembangkit listrik, maka kecenderungan tersebut berarti akan meningkatkan pula biaya operasional pembangkitan yang berpengaruh langsung terhadap biaya satuan produksi energi listriknya. Di lain pihak biaya satuan produksi energi listrik dari sistem pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan menunjukkan tendensi menurun, sehingga banyak ilmuwan percaya, bahwa pada suatu saat biaya satuan produksi tersebut akan lebih rendah dari biaya satuan produksi dengan minyak bumi atau energi fosil lainnya.
b.      Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan hidup menunjukkan gejala yang positif. Masyarakat makin peduli akan upaya penanggulangan segala bentuk potusi, mulai dari sekedar menjaga kebersihan lingkungan sampai dengan mengontrol limbah buangan dan sisa produksi. Banyak pembangunan proyek fisik yang memperhatikan faktor pelestarian lingkungan, sehingga perusakan ataupun pengotoran yang merugikan lingkungan sekitar dapat dihindari, minimal dikurangi. Setiap bentuk produksi energi dan pemakaian energi secara prinsip dapat menimbulkan bahaya bagi manusia, karena pencemaran udara, air dan tanah, akibat pembakaran energi fosil, seperti batubara, minyak dan gas di industri, pusat pembangkit maupun kendaraan bermotor. Limbah produksi energi listrik konvensional, dari sumber daya energi fosil, sebagian besar memberi kontribusi terhadap polusi udara, khususnya berpengaruh terhadap kondisi klima.
Pembakaran energi fosil akan membebaskan Karbondioksida (CO2) dan beberapa gas yang merugikan lainnya ke atmosfir. Pembebasan ini merubah komposisi kimia lapisan udara dan mengakibatkan terbentuknya efek rumah kaca (treibhouse effect), yang memberi kontribusi pada peningkatan suhu bumi. Guna mengurangi pengaruh negatif tersebut, sudah sepantasnya dikembangkan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan dalam produksi energi listrik. Sebagai ilustrasi, setiap kWh energi listrik yang diproduksi dari energi terbarukan dapat menghindarkan pembebasan 974 gr CO2, 962 mg SO2 dan 700 mg NOx ke udara, dari pada Jlka diproduksi dari energi fosil. Bisa dihitung, jika pada tahun 1990 yang lalu 85 persen dari produksi energi listrik di Indonesia (sekitar 43.200 GWh) dihasilkan oleh energi fosil, berarti terjadi pembebasan 42 juta ton CO2, 41,5 ribu ton SO2 serta 30 ribu ton NOx. Kita tahu bahwa CO2 merupakan salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca, SO2 mengganggu proses fotosintesis pada pohon, karena merusak zat hijau daunnya, serta menjadi penyebab terjadinya hujan asam bersama-sama dengan NOx. Sedangkan NOx sendiri secara umum dapat menumbuhkan sel-sel beracun dalam tubuh mahluk hidup, serta meningkatkan derajat keasaman tanah dan air jika bereaksi dengan SO2.
Kendala pengembangan Energi terbarukan di Indonesia
Pemanfaatan sumber daya energi terbarukan sebagai bahan baku produksi energi listrik mempunyai kelebihan antara lain;
  1. relatif mudah didapat,
  2. dapat diperoleh dengan gratis, berarti biaya operasional sangat rendah,
  3. tidak mengenal problem limbah,
  4. proses produksinya tidak menyebabkan kenaikan temperatur bumi, dan
  5. tidak terpengaruh kenaikkan harga bahan bakar (Jarass,1980).
Akan tetapi bukan berarti pengembangan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan ini terbebas dari segala kendala. Khususnya di Indonesia ada beberapa kendala yang menghambat pengembangan energi terbarukan bagi produksi energi listrik, seperti:
  1. harga jual energi fosil, misal; minyak bumi, solar dan batubara, di Indonesia masih sangat rendah. Sebagai perbandingan, harga solar/minyak disel di Indonesia Rp.380,-/liter sementara di Jerman mencapai Rp.2200,-/liter, atau sekitar enam kali lebih tinggi.
  2. rekayasa dan teknologi pembuatan sebagian besar komponen utamanya belum dapat dilaksanakan di Indonesia, jadi masih harus mengimport dari luar negeri.
  3. biaya investasi pembangunan yang tinggi menimbulkan masalah finansial pada penyediaan modal awal.
  4. belum tersedianya data potensi sumber daya yang lengkap, karena masih terbatasnya studi dan penelitian yang dilkakukan.
  5. secara ekonomis belum dapat bersaing dengan pemakaian energi fosil.
  6. kontinuitas penyediaan energi listrik rendah, karena sumber daya energinya sangat bergantung pada kondisi alam yang perubahannya tidak tentu.
Potensi sumber daya energi terbarukan, seperti; matahari, angin dan air, ini secara prinsip memang dapat diperbarui, karena selalu tersedia di alam. Namun pada kenyataannya potensi yang dapat dimanfaatkan adalah terbatas. Tidak di setiap daerah dan setiap waktu; matahari bersinar cerah air jatuh dari ketinggan dan mengailr deras serta angin bertiup dengan kencang Di sebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan tersebut, nilaii sumber daya energi sampal saat ini belum dapat begitu menggantikan kedudukan sumber daya energi fosil sebagai bahan baku produksi energi listrik. Oleh sebab itu energi terbarukan ini lebih tepat disebut sebagai energi aditif, yaitu sumber daya energi tambahan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi listrik, serta menghambat atau mengurangi peranan sumber daya energi fosil.
Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia
Berdasar atas kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan peran energi terbarukan pada produksi energi listrik khususnya, maka beberapa strategi yang mungkin diterapkan, antara lain:
  1. meningkatkan kegiatan studi dan penelitian yang berkaitan dengan; pelaksanaan identifikasi setiap jenis potensi sumber daya energi terbarukan secara lengkap di setiap wilayah; upaya perumusan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konversi energinya yang sesuai dengan kondisi di Indonesia; pembuatan "prototype" yang sesuai dengan spesifikasi dasar dan standar rekayasanya; perbaikan kontinuitas penyediaan energi listrik; pengumpulan pendapat dan tanggapan masyarakat tentang pemanfaatan energi terbarukan tersebut.
  2. menekan biaya investasi dengan menjajagi kemungkinan produksi massal sistem pembangkitannya, dan mengupayakan agar sebagian komponennya dapat diproduksi di dalam negeri, sehingga tidak semua komponen harus diimport dari luar negeri. Penurunan biaya investasi ini akan berdampak langsung terhadap biaya produksi.
  3. memasyarakatkan pemanfaatan energi terbarukan sekaligus mengadakan analisis dan evaluasi lebih mendalam tentang kelayakan operasi sistem di lapangan dengan pembangunan beberapa proyek percontohan .
  4. meningkatkan promosi yang berkaitan dengan pemanfaatan energi dan upaya pelestarian lingkungan.
  5. memberi prioritas pembangunan pada daerah yang meliki potensi sangat tinggi, baik teknis maupun sosio-ekonomisnya.
  6. memberikan subsidi silang guna meringankan beban finansial pada tahap pembangunan. Subsidi yang diberikan, dikembalikan oleh konsumen berupa rekening yang harus dibayarkan pada setiap periode waktu tertentu. Dana yang terkumpul dari rekening tersebut digunakan untuk mensubsidi pembangunan sistem pembangkit energi listrik di wilayah lain.
Pembangunan sistem pembangkit energi listrik yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, terutama air, sudah banyak dilaksanakan di Indonesia. Pemanfaatan energi angin banyak diterapkan di daerah pantai, seperti di Jepara, pulau Lombok, Sulawesi dan Bali. Sementara energi matahari telah dimanfaatkan di beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan wlayah timur Indonesia. Sebagian besar dari pembangunan tersebut berupa proyea-proyek percontohan.
2.2 Krisis Energi
“Kemerosotan industri energi (Minyak, Gas dan Listrik) merupakan bagian dari privatisasi perusahaan negara, bukan sekedar pengambilalihan perusahaan melainkan (sejatinya) untuk melapangkan jalan monopoli kapital nasional seutuhnya ke tangan kapitalis internasional.”
Ekonomi neoliberal, telah menempatkan energi sebagai komoditi yang harus dikuasai. Apakah itu dengan tujuan untuk mensuplai terus bahan energi bagi produksi massal kapitalisme ataupun penguasaan dan eksploitasinya secara sepihak—melalui politik neoliberal—bagi keuntungan akumulasi yang sebesar-besarnya ke tangan minoritas klas dalam masyarakat dunia: korporasi internasional—beserta kaki tangannya.
Neoliberalisme[1], telah menempatkan energi sebagai bagian dari kapital sosial keluar dari fungsinya untuk memenuhi kebutuhan suatu kolektif masyarakat, energi telah ditempatkan sebagai hasil produksi kapitalisme yang diperuntukkan bagi kemakmuran masyarakat kapitalis dunia.
Suatu lembaga kolektif (Negara)—cerminan masyarakat berklas—telah dicerabut fungsinya untuk mengolah kapital sosial tersebut bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan publik. Hal ini merupakan hukum perkembangan kapitalisme yang tak menghendaki adanya hambatan-hambatan bagi penumpukan (akumulasi) keuntungan—yang menurut Adam Smith merupakan dasar bagi perkembangan ekonomi. Sayangnya, penumpukan kapital ini berada ditangan segilintir orang (klas kapitalis) yang selanjutnya menghambat perkembangan ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, segala cara akan dilakukan demi berjalannya proses eksploitasi bagi akumulasi kapital, meskipun melalui pendekatan militeristik.
Dengan mengatasnamakan Pancasila, TINA (There is No Alternative) dan efek “tetes ke bawah” (Tricle Down Effect) penerapan neoliberalisme dibidang energi, melalui politik energi, sepenuhnya ditujukan bagi penerapan konsep kesetaraan permainan (Level Playing Field) melalui pembukaan pasar dan perombakan struktur industri energi, yang nyatanya hanya berlaku bagi korporasi-korporasi internasional—yang memiliki modal dan teknologi skala besar dan modern. Tapi tidak bagi negara berkembang yang mengalami capital flight—diakibatkan pembayaran utang luar negeri (cicilan dan bunga), rekapitalisasi obligasi perbankan, kredit eksport militer, dllSehingga basis bagi Industrialisasi Nasional dibidang Energinya—melalui pembangunan Industri Hulu (Downtream), Industri Antara (Midstream[2]), Industri Hilir[3] (Upstream)—tidak terbangun.
Fakta meningkatnya inflasi suatu negeri, meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok: beras, sayur-sayuran, biaya rumah tinggal, pakaian—yang berkaitan erat dengan nilai salah satu produk energi, minyak—meningkatnya jumlah pengangguran dan perusahaan bangkrut, merupakan relasi yang tak terpisahkan dengan pendekatan kebijakan energi yang pro pasar. Yang jelasnya ditunjukkan ketika fluktuasi minyak di pasar internasional yang tidak memberikan WindFall Profit (lonjakan keuntungan) bagi negara ini, melainkan peningkatan import minyak dan harga BBM, serta pencabutan subsidi.
Secara jelas kita akan membahas apakah  kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment program) memberikan kedaulatan sumber daya energi nasional ataukah penjajahan (kembali) atas kekayaan energi nasional yang mengakibatkan perpanjangan sejarah kemiskinan penduduk negeri ini?
Potensi  Sumberdaya Energi Indonesia beserta fakta-faktanya, antara lain: 
Pertama Indonesia merupakan negara dengan kapasitas panas bumi terbesar di dunia (40% cadangan dunia, atau sekitar 27.140,5 MegaWatt). Tapi pemanfaatan cadangan panas bumi Indonesia masih sangat minim, yakni hanya 800 MW. Plus, potensi bahan tambang lainnya, seperti batubara 3,1% cadangan dunia, dan gas[4] 1,4% cadangan dunia, tenaga air[5] 75 Giga Watt, biomasa 49 GW, tenaga matahari 48 kWh/m2/hari[6], tenaga angin[7] 9 GW, dan uranium dengan kapasitas  sebesar 32 GW atau total ada lebih 230 GW. Fakta yang ada atas potensi tersebut, antara lain:
  • Ketersediaan listrik di Indonesia baru mencapai 21,6 GW atau 108 watt per orang, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jepang yang mencapai 1.874 watt/orang. Padahal, kebutuhan listrik dunia diproyeksikan akan meningkat dari 14.275 milyar watt di tahun 2002 melonjak menjadi 26.018 milyar watt di tahun 2025.
  • Batubara dipasok untuk industri ketenagalistrikan dengan jumlah 22,882 juta ton. Meski sudah ada pasokan dari batubara, tetapi produksi energi listrik masih juga memakan 6,796 Juta kilo liter bahan bakar minyak. Seiring dengan kenaikan harga minyak maka jumlah dan harga energi listrik juga menjadi semakin mahal. Hal tersebut mengakibatkan tarif listrik semakin mahal. Terlebih penjualan minyak dan batubara serta bahan penunjang lainnya antar BUMN ataupun tidak di dalam negeri, dilakukan dengan mata uang dollar.
  • Sejauh ini produksi listrik nasional untuk konsumsi dalam negeri baru 80%, sedangkan 20%nya harus dibeli PLN.
  • Di Indonesia Black Out (pemadaman sementara) pernah terjadi pada tahun 1997, 1999, 2000 dan 2002 dan memiliki kecenderungan akan terus terjadi dengan tingkat yang lebih besar.
  • Tarif dasar listrik terus dinaikkan—hal ini menunjukkan pencabutan subsidi listrik diberlakukan oleh pemerintah.
Kedua, Indonesia merupakan negara net eksporter Gas dunia—dengan  10 perusahaan asing  (Exxon Mobil, Vico, BP, Unocal, Conoco Philips, Energi, Caltex, Exspan, Premier/Amoseas, Cnooc/YPF/Maxus) menguasai 55% produksi gas Indonesia—dengan cadangan gas saat ini diperkirakan sebesar 134,0 TSCF yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Natuna, Sulawesi Selatan, dan Papua. Sementara produksi gas tercatat sebesar 8,6 miliar kaki kubik per hari, dimana 6,6 miliar kaki kubik dari produksi tersebut digunakan untuk ekspor dan sisanya sebesar 2,0 miliar kaki kubik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yaitu untuk keperluan fertilizers, refinery, petrochemicals, LPG domestik, PGN, PLN, dan industri lainnya. Penerimaan negara dari gas bumi rata-rata sebesar 10,2% dari total penerimaan negara dan 80% dari jumlah tersebut berasal dari ekspor. Fakta yang ada dari potensi tersebut, antara lain:
  • 10 perusahaan asing  (Exxon Mobil, Vico, BP, Unocal, Conoco Philips, Energi, Caltex, Exspan, Premier/Amoseas, Cnooc/YPF/Maxus) menguasai 55% produksi gas Indonesia.
  • Jepang memperoleh 75% dari total pengiriman gas LPG perusahaan besar asing dari Indonesia.
  • Jepang juga memperoleh 64% dari total pasokan LNG yang dikirim dari Indonesia.
  • PT Pupuk Iskandar Muda dan PT ASEAN Aceh Fertilizer hampir bangkrut karena kurangnya pasokan Gas, karena target eksport ke Jepang dan Korea Selatan. Serta pembelian harga LNG yang tinggi—dengan standar harga internasional dan dengan pembayaran melalui dolar Amerika.
  • Naiknya harga minyak internasional hingga pada level $135 per barel tidak memberikan windfall profit melainkan meningkatnya harga premium ke harga Rp. 6000 per liter.
Ketiga, Potensi energi fosil jenis minyak, antaralain: minyak 86,9 miliar barel (sumberdaya), 9 miliar barel (Cadangan), 500 juta barel (Produksi per tahun)[8]. Produksi 989.880 barel per hari itu dengan rincian kondensat 128.785 barel per hari dan minyak mentah 861.095 barel per hari (Mei 2008). Dengan sumur yang siap diproduksi: Cepu/Jawa Timur: 170 ribu bph,  Jeruk/Jawa Timur: 50 ribu bph,  West Seno/Selat Makasar: 27 ribu bph,  Belanak/Natuna: 50 ribu bph,  Petrochina: 25 ribu bph, Pertamina: 30,6 ribu bph. Fakta yang nyata dari potensi tersebut:
  • Terjadi penurunan produksi minyak dari tahun 1978 ketika Oil Shock  ke II produksi minyak Indonesia sebesar 1,4 Juta Barel per hari.
  • Sepuluh perusahaan asing ( BP, Caltex, CNOOC, Connocophilips, Exonmobil, EXSPAN, Total Fina/ELF, Unocal, VICO, Petrocina) menguasai 84% produksi minyak Indonesia dan perusahaan Caltex menguasai sebesar 56%.
  • Cost Recovery[9] yang harus dibayarkan pemerintah untuk seluruh kontraktor selama 2007 mencapai US$ 8,33 miliar.
  • Ladang minyak yang diyakini menyimpan cadangan dalam jumlah mencapai 1.1 milyar barel di kedalaman kurang dari 1.700 meter itu, memiliki cadangan potensial yang mencapai 11 milyar barel di kedalaman di atas 2000 meter dikuasai oleh Exxon Mobil Oil.
Dari paparan potensi dan fakta diatas, pertanyaan mendasar mengapa dengan kapasitas sumberdaya sebesar ini—yang sebagian belum/kurang tereksplorasi karena rendahnya biaya penelitian dan pengembangan eksplorasi—mengalami persoalan krisis energi?
Akar masalah:
Beberapa pandangan menyatakan bahwa kenaikan harga BBM yang disebabkan oleh naiknya harga minyak dunia, hingga harga $130 per barrel, karena faktor kurangnya pasokan minyak dunia ke pasaran, selayaknya pada teori penawaran dan permintaannya (Suplay and Demand). Kenyataannya tidak sesederhana itu. Liberalisasi keuangan dan liberalisasi perdagangan internasional—yang merupakan perkembangan historis dari kapital bank dan dagang, telah menghasilkan fluktuasi terhadap komoditi, keuangan dan kondisi perekonomian suatu negeri. Seperti dalam konsep A. Smith, aktor–aktor pasarlah yang menjadi penentu, sekaligus perusak perkembangan ekonomi suatu negeri.
Kenaikan harga minyak dunia baru-baru ini bukanlah karena faktor turunnya suplai dari negara-negara net eksportir minyak atau terlalu besarnya tingkat konsumsi negara-negara konsumen minyak seperti India, China, Amerika.
Secara internasional, faktor utama disebabkan oleh pelaku spekulan. Minyak sebagai komoditi saat ini tidak lagi diperdagangkan dengan menghadirkan barang terlebih dahulu. Perkembangan perdagangan, telah menghasilkan suatu sistem dimana perdagangan dapat dilakukan tanpa menghadirkan barang (commodity) terlebih dahulu melainkan melalui surat-surat dengan nilai tertentu yang diperdagangkan secara fluktuatif hingga diluar nilai produksinya. Dewasa ini perdagangan bursa komoditi berjangka (Commodity Futures Market[9]) menghasilkan fluktuasi terhadap tingkat harga barang dalam pasar internasional. Minyak yang diperdagangkan dengan cara yang sama (bursa komoditi berjangka) di bursa Singapura (Mid Oil Plats Singapore/MOPS) ataupun New York Mercantile Exchange (Nymex) telah mendorong spekulan-spekulan kredit perumahan (subprime mortgage) Amerika yang tengah mengalami krisis di pasar modal AS merambah pada bursa komoditi berjangka minyak. Para spekulan tersebut membeli surat-surat barang dalam jumlah besar hingga nilai barang tersebut meningkat drastis. Selanjutnya para spekulan tersebut melepas/menjual kembali surat-surat tersebut dan mengambil margin keuntungan atau sering disebut Profit Taking Action/aksi ambil untung. Atau dengan menjualnya dengan nilai yang tinggi ke  pedagang lain ataupun perusahaan negara.
Atas pelipatgandaan tingkat harga komoditas minyak ini dari cost of production awal yang diuntungkan adalah korporasi minyak dan gas internasional, para spekulan komoditi dan broker/calo-calo minyak yang mengambil rente lebih besar ke konsumen minyak, AS, Jepang dan Inggris yang menjadi pemilik korporasi minyak internasional. Lalu siapa yang menjadi korban? Dengan tingkat pendapatan yang rendah maka rakyat dan negara-negara miskin menjadi korban dari kenaikan minyak dalam skala internasional ini.
Penumpukan kapital dari meningkatnya harga minyak internasional menambah konsentrasi kapital di negara-negara imperialis ini. Sebaliknya, negara-negera miskin, yang terpaksa menjalankan program penyesuaian nilai minyak di dalam negerinya, membuat industri nasionalnya hancur. Situasi ini disebabkan karena negara-negara tersebut berkembang dengan basis industri yang lemah, teknologi yang rendah, modal yang kecil, kemudian biaya produksi yang tinggi, karena meningkatnya harga minyak internasional, hasilnya: komoditi dengan kualitas rendah dan harga yang tinggi.
Selanjutnya, harus dihadapkan pada komoditi dari korporasi-korporasi internasional yang berkembang dengan konsentrasi produksi yang besar, modern dan massal ditangan kapitalis internasional—yang nilai komoditinya lebih murah dan berkualitas. Hasil akhirnya, dengan daya beli yang rendah, konsumen akan membeli komoditi korporasi internasional dan komoditi perusahaan negara atau perusahaan swasta dengan konsentrasi produksi yang rendah akan ditinggalkan. Akibatnya: Deindustrialisasi Nasional.
Faktor internasional ini diperparah dengan, pelaksanaan secara konsisten kebijakan ekonomi-politik neoliberal. Industri energi, di negeri ini, berkembang dari perebutan perusahaan-perusahaan asing paska kemerdekaan. Industri listrik (Perusahaan Lisrik Negara/PLN) misalnya, pada pra kemerdekaan dibangun dari perusahaan swasta Belanda, NV.NIGM, yang memperluas usahanya dari bidang gas ke tenaga listrik. Dalam masa berikutnya, seperti perusahaan lainnya, akibat perang dunia ke II, perusahaan ini dikuasai oleh Jepang. Paska kemerdekaan perusahaan ini diambil-alih oleh pemerintahan Soekarno, melalui perjuangan heroik pemuda republik, dengan membentuk Jawatan Listrik dan Gas. Dimana ketika itu kapasitas produksi tenaga listrik baru sebesar 157,5 MegaWatt.
Sedangkan Industri minyak dan gas, dibangun juga dari perusahaan asing. Industri minyak dimulai ketika De Dordtsche Petroleum Maatschappij membangun kilang wonokromo yang merupakan unit distilasi atmosfir. Tapi pencarian minyak sendiri pertama kali dilakukan oleh Jan Reerink pada tahun 1871 di Cibodas Jawa Barat. Meski Aelko Zijlker pada tahun 1883 yang menemukan ladang minyak di Langkat Sumatera Utara. Kemudian De Koninklijke pada 1891 membangun kilang pangkalan berandan untuk mengolah crude oil (Minyak mentah) dari Sumatera bagian utara. Pada tahun 1894 De Dordtsche Petroleum Maatschappij membangun kilang cepu untuk mengolah crude oil, yang selanjutnya dibeli oleh British Petroleum Maatschappij tahun 1911.
Di Balikpapan, Shell Transport and Trading Company membangun kilang Balikpapan. Pada tahun 1926 Stanvac membangun Kilang Sungai Gerong. BPM dan Stanvac merupakan dua perusahaan minyak yang beroperasi dalam penyediaan dan pemasaran BBM pada masa kolonial Belanda. Pada tahun 1945, terbentuk  3 perusahaan minyak negara: Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia Sumatera Utara (PTMNRI Sumatera Utara), Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (Permiri) Sumsel dan Jambi, dan Perusahaan Tambang Minyak Negara Cepu (PTMN Cepu. Tetapi hingga 1950 tinggal Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMRI Sumatera Utara) dan PTMRI Cepu. Pada 22 Juli 1957 lahir Perseroan Terbatas Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara (PT ETMSU) lalu pada 10 Desember 1957 berubah menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PT Permina) dengan Kol. Dr. Ibnu Sutowo sebagai Presiden Direkturnya. Sebelumnya, pada Oktober 1957, KSAD Jenderal A.H. Nasution menunjuk Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk membentuk perusahaan minyak yang berstatus hukum perseroan terbatas. Kemudian tahun 1959, NV Niam (NV Nederlans Indische Aardolie Maatschappij) diubah menjadi PT Permindo (PT Pertambangan Minyak Indonesia).
Melalui UU No 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, PT. PERMINA diubah dari perseroan terbatas menjadi perusahaan negara. Melalui UU Minyak dan Gas Bumi No. 44 tahun 1960, tanggal 26 oktober 1960, seluruh pengusahaan minyak di Indonesia dilaksanakan oleh negara. Melalui PP No. 198 tahun 1961 di dirikan perusahaan negara dengan nama PN Pertambangan Minyak Nasional PN Permina (PT Permina masuk kedalamnya).
Nasionalisasi yang dilakukan melalui Undang-undang No. 86/1958 tentang nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda di Indonesia, PP 50/1959, tentang Penentuan Perusahaan-Perusahaan Perindustrian/Pertambangan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi, kemudian melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 163 tahun 1953 tentang Nasionalisasi semua perusahaan Listrik diseluruh Indonesia dan PP No. 018/1959 tentang Penentuan Perusahaan Listrik Dan/Atau Gas Milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi, melalui apa yang disebut oleh Bung karno sebagai program “Banteng”. Pada kenyataannya tidak jatuh ketampuk kekuasaan rakyat, melainkan jatuh ke tangan militer.
Meski telah diambil-alih, industri energi tidak berkembang secara pesat dalam pemenuhan produksi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: keterbatasan modal, teknologi yang rendah dan sumber daya manusia yang belum berkembang, serta kurangnya prespektif pembangunan secara signifikan dan berjangka panjang dalam Industri energi—selain juga faktor-faktor politik yang berpengaruh pada kegiatan produksi. Hal tersebut ditunjukkan dengan produksi energi yang belum signifikan dalam kurun waktu 20 tahun. Misalnya, pada tahun 1965 produksi tenaga listrik hanya pada tingkat 300 Megawatt.
Kondisi ini tidak berubah dalam masa pemerintahan Soeharto, peningkatan kapasitas infrastruktur produksi, efisiensi struktur dan manajemen produksi, serta peningkatan kualitas tenaga produktif tidak diubah bahkan konsep diversifikasi dan konservasi energi listrik tidak disiapkan secara serius[10]. Akibatnya, PLN pada juni 1994 dialihkan dari Perusahaan Umum/Publik/Negara menjadi perusahaan Perseroan. Melalui kebijakan ini kapitalis asing dapat terlibat dalam bisnis penyediaan tenaga listrik[11]. Pada industri minyak, Pertamina yang berhasil meraup keuntungan pada masa boom oil justru dikerdilkan oleh pemerintah melalui Inpres No. 12/1975. Inpres ini mewajibkan seluruh penerimaan migas masuk ke rekening pemerintah membuat modal Pertamina menjadi sangat terbatas untuk masuk ke sektor hulu. Padahal sektor inilah yang mampu mengembangkan perusahaan migas agar menjadi besar.
Pragmatisme diselesaikan pula dengan pragmatisme baru. Itulah yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto, dengan mengubah PLN menjadi persero. Hal ini merupakan gambaran politis dari struktur ideologis/kelas kapitalis kroni yang tidak berkemampuan mengembangkan industri ini secara mandiri. Melainkan memberikan ruang bagi capital swasta masuk dan berkembang secara signifikan, meski (tetap) dalam monopolisasi perusahaan “publik” pemerintahan kroni Soeharto. Meski tetap dalam monopoli perusahaan “publik” tetapi kenyataan itu adalah awal dari strategi panjang kapitalisme internasional untuk memonopoli perusahaan negara.
Kebijakan Ini memberikan dasar kesimpulan adanya pragmatisme dalam konsep awal pembangunan industri energi, yang ditunjukkan dengan tidak meningkatnya jumlah total produksi dalam kurun waktu 20 tahun tersebut—bahkan pada kasus industri minyak yang ditahun 70-an mendapatkan keuntungan dengan adanya oil shock justru tidak menyiapkan prasyarat pengembangan industri minyak tersebut—tidak menjadi catatan penting dalam peningkatan jumlah produksi energi.
Di sisi lain, pemerintah (bahkan dalam masa pemerintahan Soeharto yang memiliki konsep Pembangunanisme) tidak memiliki orientasi mandiri—karena memang tekanan konsep ekonominya adalah mengundang masuknya modal asing ke dalam negeri (investasi)— dalam konteks peningkatan pasokan (supply), pengefektifan (konservasi[12]) dan penganekaragaman (diversifikasi[13]) industri energi. Meski pada Rencana Korporat Ketiga (Renkorp III, 1994/1995 – 1998/1999, Pertamina menginventarisasi persoalan kedepan—yang menjadi persoalan nyata hari ini—antara lain: peningkatan kebutuhan BBM, Indonesia sebagai net importer, persoalan lingkungan, diversifikasi dan konservasi energi. Tetapi kesemuanya tidak terlihat prakteknya di lapangan untuk mengantisipasi krisis energi.
Padahal peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dalam bingkai Industrialisasi Nasional, yang mensyaratkan adanya efektifitas dan efesiensi produksi, meningkatnya jumlah dan mutu produk yang tidak dapat dilepas dari faktor pendukungnya yaitu: pembangunan Sumber Daya Manusia, Infrastruktur Produksi, distribusi modal yang tepat guna. Yang terjadi justru sebaliknya: ketidakefisienan organisasi dan manajemen produksi, pembiayaan tenaga kerja asing yang berlebih, susbsidi dan sub kontrak proyek kepada perusahaan swasta mengakibatkan terkurasnya anggaran yang tidak perlu sehingga capital tidak dikembangkan untuk industri tenaga listrik. Disisi lain, cara yang digunakan pemerintah pada saat itu, malah melahirkan raksasa-raksasa capital privat yang justru hari ini dan kedepannya menandingi bahkan akan menguasi perusahaan negara. Permerintah dengan capitalnya melahirkan monster yang secara perlahan dan pasti menguasai capital publik sendiri.
14 TAHUN sejak Peraturan Pemerintah yang melegitimasi kebijakan perubahan PLN ini dijalankan dan 33 tahun sejak pemerintah mengkerdilkan PERTAMINA, kedua perusahaan negara ini belum mampu memenuhi kebutuhan yang meningkat seiring dengan pertumbuhan konsumsi energi, baik untuk rumah tangga, industri, bisnis, dan pemerintahan. Justru sebaliknya, negara yang pernah dikenal dengan nama macan asia ini, untuk kali pertama mengalami black out seiring dengan resesi ekonomi, pada tahun 1997, dan terus mengalamami krisis energi hingga hari ini.
Penindasan kapitalisme kroni yang membelenggu demokrasi dan kesejahteraan dilawan oleh gerakan demokratik (Mahasiswa dan Rakyat) dan tergulinglah rezim yang berkuasa selama kurun 32 tahun ini pada 21 Mei 1998. Ruang Demokrasi terbuka. Tapi penindasan belum selesai. Kedikaktoran Individu (Soeharto) pun digantikan oleh kediktaktoran baru, Kediktaktoran Modal Internasional, dengan bonekanya: Pemerintahan Agen Kedikatoran Modal Internasional.
Liberalisasi ekonomi, yang dikhawatirkan oleh kroni-kroni Soeharto akan membahayakan kapital mereka, kenyataannya terwujud. Ekonomi Liberal yang sedang krisis akut, membutuhkan perluasan penghisapan dan hambatan untuk memenuhi tujuan itu harus dilapangkan, baik di bidang politik, hukum, sosial maupun ekonomi. Kebijakan yang dilakukan dalam ekonomi adalah memangkas semua rintangan-rintangan yang menghambat kebebasan bagi korporasi internasional untuk mendirikan cabang-cabang (dengan berbagai topeng-pen) mereka di berbagai negara untuk mengeksploitasi pasar domestik dan “melompati” dinding tarif[14].
Selanjutnya, liberalisasi melalui privatisasi berbagai perusahaan negara dilakukan. Tentu saja dengan dalih: kebobrokan sistem dan manajemen produksi, penciptaan iklim investasi dan penciptaan harga yang kompetitif[15]. Senjata untuk menghancurkan rintang-rintangan proteksi tersebut tentu saja berupa regulasi. Taktik yang digunakan, tidak berbeda seperti yang terjadi di Amerika latin, pinjaman utang luar negeri melalui lembaga donor beserta berkas-berkas (jebakan) kebijakan yang harus ditandatangani dalam Letter Of Intent (LOI).
Perubahan bangunan bawah harus pula di ikuti oleh perubahan supra-struktur, dalam kepentingan melegitimasi arah ekonomi yang berjalan: ekonomi pasar bebas. Dalam konteks kebijakan Privatisasi, regulasi yang sudah berjalan terjadi dalam industri minyak dan gas bumi melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.  Pertamina, melalui PP 31/2003 juga telah diubah statusnya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), dan melalui  PP 42/2002 telah dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS).
Bersamaan dengan itu telah dibentuk BPH MIGAS MELALUI PP No. 67/2002. BPH MIGAS akan berperan sangat vital karena kewenangannya mengatur dan menetapkan ketersediaan dan distribusi BBM, cadangan BBM nasional, dan pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan BBM. Dengan kebijakan ini, struktur industri minyak dan gas tidak lagi terintegrasi vertikal dan berada sepenuhnya di tangan negara. Misalnya, kegiatan hilir BBM (pengilangan, penyimpanan, ekspor-impor dan transportasi) yang didominasi oleh Pertamina dibuka untuk perusahaan swasta, termasuk asing. Sistem baru pengadaan BBM nasional diperkenalkan, akan melibatkan perusahaan lama dan baru, dibawah koordinasi Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS).
Dalam regulasi ini terjadi open access bagi aktor-aktor pasar (semacam eufimisme bagi kapitalis) dalam Industri hulu (upstream), transmisi & refenery, serta industri hilir (downstream). Bukti kelapangan jalan bagi monopoli capital  asing terhadap capital publik.
Lalu apa akibat dari liberasi industri Minyak dan Gas Bumi?
Akibat dari pelaksanaan ini antara lain:
  1. Pertamina, sebagai badan usaha negara, tidak lagi memegang monopoli pengelolaan industri Minyak dan Gas. Sehingga modal asing dapat terlibat baik pada industri hulu, transmisi dan refinery maupun industri hilir. Seperti yang dapat kita lihat akhir-akhir ini beberapa perusahaan minyak skala internasional (Shell, Petronas) membuka penjualan eceran di berbagai tempat dan dengan penetapan harga serta jenis sesuai kehendak mereka. Hasilnya, Pertamina—sebagai badan usaha milik negara— di sektor hilir harus berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan seperti ini di negara sendiri.
  2. Rantai Produksi Migas dari hulu ke hilir semakin panjang dan tidak terintegrasi. Akibatnya, sering terjadi kekurangan pasokan-pasokan minyak dan gas di suatu daerah.
  3. Pemecah-mecahan  produksi Migas mengakibatkan harga minyak menjadi meningkat karena perusahaan-perusahaan swasta mengambil keuntungan, mulai dari Industri hulu (Upstream), transmisi & refenery, serta industri hilir (downstream). Sehingga nilai yang diterima oleh konsumen bukanlah nilai keekonomisannya, melainkan nilai yang telah diakumulatifkan dari rantai produksi tersebut. Tingkat harga BBM yang tinggi membuat akses masyarakat berkurang karena faktor rendahnya daya beli.
  4. Pemecahan rantai produksi juga mengakibatkan suburnya praktek spekulan.
  5. Peningkatan pasokan Minyak dan Gas bumi dititipkan pada korporasi yang berinvestasi di sektor hulu. Tapi pada kenyataannya, korporasi internasional lebih banyak berinvestasi di sektor hilir dan tidak menambah jumlah produksi minyak mentahnya di sektor hulu. Program-program pengembangan eksplorasi Migas baik dari segi teknik dan teknologi untuk menggali sumber-sumber Migas di sumur-sumur yang lebih dalam menjadi terhambat.  Artinya, impian untuk menjadi net eksporter minyak memang hanya mimpi belaka.
  6. Pemerintah harus berbagi keuntungan dengan Korporasi internasional, dalam beberapa kontrak kerjasama prosentase Production Sharring (bagi hasil) antara pemerintah dan perusahan tersebut besar. Akan tetapi besarnya cost recovery yang harus dibebankan kepada pemerintah sebenarnya menguntungkan korporasi internasional.
  7. Tidak ada kedaulatan terhadap penentuan arah produksi Migas nasional, karena setiap struktur dari badan industri Migas telah dikuasai oleh korporasi internasional.
Dalam kasus industri Ketenagalistrikan, pemerintah sudah mengeluarkan regulasi yang menguatkan skenario pasar bebas, melalui UU Ketenagalistrikan No 20 Tahun 2002[16]. Dimana dalam regulasi ini arah yang dilakukan adalah: 1) Membuka pasar tenaga listrik (dicirikan dengan sistem multi buyer-multi seller[17]), 2) berkonsekuensi menjadi berwatak kompetitif,  3) PLN menjadi tidak lagi terintegrasi vertikal (kohesif) melainkan dipecah-pecah (Unbundled), 4) mengurangi otoritas Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam fungsinya menyediakan listrik di tanah air[18]. Sehingga industri ketenagalistrikan akan terbagi menjadi: pembangkitan, penjualan tegangan tinggi/menengah, transmisi, distribusi dan penjualan tegangan rendah.
Undang-undang ini tidak sempat dijalankan sepenuhnya (meski dalam banyak aspek, aroma kecenderungan tersebut nampak dalam blue print pengembangan industri ketenagalistrikan 2003-2020) karena pada 15 Desember 2004 Mahkamah Konstitusi kemudian mencabut UU No 20/2002[19] dan mengembalikan pada UU Ketenagalistrikan yang lama No 15/1985. Selanjutnya pemerintah kembali merancang undang-undang ketenagalistrikan yang baru, tentu saja dengan aroma yang tidak beda jauh dengan UU No. 20/2002, aroma pasar bebas. Dan meski undang-undang yang syarat liberalisasi tersebut telah dicabut akan tetapi Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2006[20] yang dibuat kemudian, secara substantif memberikan porsi keterbukaan seperti yang diharapkan oleh UU No 20 tahun 2002 dan tentunya multinational corporation sehingga tidak mematahkan harapan kapitalis internasional.
Rendahnya pasokan listrik juga tidak bisa dilepaskan dengan jumlah dan harga pasokan energi lain yang menunjang produksi tenaga listrik. Pasokan minyak misalnya, sebelumnya masih sangat dominan dalam produksi tenaga listrik. Kemudian batubara dipasok untuk industri ketenagalistrikan dengan jumlah 22,882 juta ton. Meski sudah ada pasokan dari batubara, tetapi produksi energi listrik masih juga memakan 6,796 Juta kilo liter bahan bakar minyak. Sebagai catatan, bahwa dalam pemenuhan konsumsi minyak dalam negeri pemerintah masih mengimport dari luar.  Seiring dengan  kenaikan harga minyak maka jumlah dan harga energi listrik juga menjadi semakin mahal. Hal tersebut mengakibatkan tarif listrik semakin mahal. Terlebih penjualan minyak dan batubara serta bahan penunjang lainnya antar BUMN ataupun tidak didalam negeri dilakukan dengan mata uang dollar.
Meski dicabut, tapi ada baiknya kita bahas apakah UU No. 20/2002 berorientasi terhadap Industrialisasi Nasional ataukah sebaliknya?
Seperti yang disampaikan diatas dalam arah kebijakan UU No 20/2002. regulasi tersebut mengakibatkan PLN sebagai pemegang usaha ketenagalistrikan, telah dilucuti kewenangannya atas nama open access, kemajuan peningkatan inventasi sebagai tolak ukur peningkatan pertumbuhan ekonomi, serta tarif yang kompetitif. Maka, tidakkah ini adalah bukti terjadinya denasionalisasiHugo Chavez, sering menyebutkan bahwa privatisasi mengakibatkan terciptanya Negara dalam Negara yang justru merugikan kepentingan publik.  
Secara organisasional struktur industri ketenagalistrikan juga difragmentatifkan, akibatnya antara lain: Pertama, semakin panjangnya birokrasi suply tenaga listrik kepada konsumen (besar, menengah, maupun kecil), sehingga akan mengakibatkan terhambatnya distribusi. Kedua, semakin banyaknya rantai pemain maka disisi lain akan menyuburkan praktek spekulan dalam industri listrik. Ketiga, investasi yang terbuka dalam setiap level alur industri mengakibatkan meningkatnya harga/tariff listrik karena semakin banyaknya rantai pelipatgandaan tarif dalam skala kecil jika dikumulatifkan tentu akan besar jika sudah dibebankan  pada konsumen. Keempat, keterbukaan investasi tetap tidak menyelesaikan persoalan black out, sebab persoalan terbesar terletak pada rendahnya produksi industri hulu (up stream) bukan sekedar pada transmisi dan distribusi. Kelima, fragmentasi secara vertikal (pusat-daerah) juga akan mengakibatkan satu situasi dimana terdapat daerah yang kelebihan listrik (surplus) dan daerah yang kekurangan (defisit) suplai listrik[21]. Ini merupakan point konsistensi dari logika desentralisasi[22] dan dekonsentrasi[23] yang menjadi skenario neolib,yang secara politik mengakibatkan kehancuran karakter kebangsaan (masyarakat menjadi sangat provinsialis dan sukuisme[24]) dan ketimpangan kesejahteraan[25].  Dalam aspek harga, sistem yang kompetitif akan mengakibatkan suplai kepada industri-industri menengah-besar, menengah-kecil dan industri kecil tidak akan cukup mendapatkan suplai tenaga listrik sebab dalam sistem kompetisi menerapkan sistem rimba, siapa yang terkuat (capitalnya) dia yang akan dapat terus hidup.   
Energi, merupakan salah satu industri dimana berbagai industri lain sangat bergantung banyak dalam proses produksinya. Sehingga, apabila harga listrik dan minyak semakin mahal, tentu biaya produksi industri yang lainnya akan berlipat. Hal ini membuat daya saing produk dalam negeri tidak bisa diperimbangkan dengan produk asing yang secara kualitatif lebih baik, karena tentunya dengan teknologi yang lebih maju, dan juga dalam harga jauh lebih murah sebab di banyak negara maju konservasi dan diversifikasi energi listrik tidak membuat beban biaya produksi dan haraga produk tidak meningkat. Ditambah rendahnya daya beli masyarakat maka lengkaplah pula syarat-syarat kehancuran industri nasional, dalam bahasa lain adalah Deindustrialisasi Nasional. Inilah perang ekonomi yang lebih terselubung itu, lebih halus, lebih tertutup, yang dulu hanya dapat disingkapkan oleh Marx. Sebuah metode baru yang melapangkan jalan bagi segilintir individu menguasa perekonomian suatu negara, dan seperti diungkapkan oleh lenin, muaranya adalah Imperialisme.
Jalan Keluar:
Dalam soal rendahnya pasokan listrik ditengah meningkatnya kebutuhan, maka jalan keluar kita adalah:
Pertama, meningkatkan subsidi listrik untuk rumah tangga miskin-menengah, fasilitas publik dan industri. Dan meningkatkan pajak dan tarif untuk rumah tangga kaya yang selama ini mengkonsumsi listrik dengan jumlah yang besar tetapi dengan harga yang mahal. Pada tahun 2002, 20% penduduk kaya di Indonesia menggunakan tenaga listrik rata-rata perkapita sebesar 441,72 Kwh[26]. Hampir 3 kali lipatnya rata-rata konsumsi per kapita penduduk menengah-miskin pada tahun yang sama.
Kedua, membuat aturan/regulasi konservasi energi/penghematan energi, beserta lembaga pengontrol. Dimana penerapannya dalam kepentingan optimalisasi industri untuk kesejahteraan rakyat. Contoh: memberlakukan standar energi untuk AC, lampu penerangan, refrigerator, TV, Komputer.
Ketiga, mengembangkan teknologi konservasi energi.
Keempat, mengkonsentrasikan capital nasional ditangan negara sehingga dapat mewujudkan optimalisasi industri ketenagalistrikan (ditahun 2005 saja, PLN membutuhkan dan Rp 20 Triliun untuk membangun infrastruktur)  dengan jalan:
  • Menghapuskan utang luar negeri. Prinsip menghapuskan luar negeri bukan berarti menolak utang luar negeri. Kita menolak utang luar negeri sebab aturan yang mengiringi peminjaman utang tersebut menjebak (debt trap) engan kurs mata uang yang fluktuatif, orientasi penggunaan uang yang tidak tepat guna, penjanjian dibalik pinjaman yang mengharuskan negara debitor menjalankan konsep ekonomi pasar bebas. Sehingga yang terjadi adalah larinya modal nasional keluar (capital flight) Kita menerima pinjaman dana luar negeri dalam prinsip utang yang adil (debt-fair).
  • Tarik Surat Utang Negara. Surat Utang Negara, tidak lebih subsidi yang dinikmati para bankir, yang kebanyakan juga banker-bankir asing seperti Temasek, Farallon, dan sejenisnya.
  • Tangkap, Adili dan Sita Harta Soeharto serta Koruptor lainnya. Tindakan ini dilakukan dalam kasus-kasus besar seperti korupsi Soeharto dan Kroninya. Sekaligus juga korupsi yang dilakukan di jajaran PLN dan industri yang terkait dengannya.
  • Nasionalisasi Industri Minyak, Gas dan Pertambangan di bawah Kontrol Rakyat.
  • Menghapuskan kebijakan liberalisasi keuangan: yaitu dalam jangka pendek segera mengeluarkan kebijakan untuk mensentralisasi devisa/dollar hasil ekspor dari seluruh BUMN dan korporasi atau perusahaan swasta yang berdomisili dan berbasis di Indonesia ke bank-bank yang ditentukan oleh Pemerintah. Seluruh transaksi dan lalulintas keuangan dari dalam dan dari luar negeri harus dikontrol. Jika kebijakan sentralisasi devisa/dollar ini sudah berjalan efektif harus segera diikuti dengan kebijakan untuk mematok rupiah terhadap dollar pada tingkat yang rasional. Seluruh transaksi dan lalulintas keuangan dari dalam dan dari luar negeri harus dikontrol[27].
Kelima, dengan dijalankannya program sentralisasi kapital ditangan negara, maka banyak yang dapat dilakukan untuk optimalisasi pembangunan energi nasional:
  • Meneliti dan mengembangkan potensi-potensi teknologi konservasi dan diversifikasi.
  • Mengembangkan bahan bakar yang terbarukan (renewable) untuk produksi tenaga listrik nasional. Contoh: di Juhne, Jerman dengan pupuk kandang (dari tumbuhan-tumbuhan dan hewan), hasilnya mereka dapat memproduksi sebesar 5 Juta Kwh. Ataupun dengan penggunaan energi matahari, air ataupun panas bumi.
Keenam, melakukan diversifikasi industri listrik dengan mengoptimalkan potensi terbesar yang ada, yaitu pembangkit listrik panas bumi (Geothermal).
Ketujuh, melakukan diversifikasi industri minyak dan gas.
Kedelapan, dan tentunya program-program diatas harus didukung oleh beberapa program lainnya:
  • Kampanye dan pelatihan/pembinaan hemat energi. Agar konservasi energi tidak sekedar regulasi, lembaga, tetapi menjadi kesadaran secara umum.
  • Bekerjasama dengan negeri-negeri yang memiliki pengalaman berhasil mengatasi krisis listrik, seperti Jerman, Jepang dan Kuba.
  • Peningkatan kapasitas tenaga produktif dengan cara bekerjasama dengan universitas-universitas di luar negeri yang melakukan riset dan pengembangan dalam bidang konservasi dan diversifikasi tenaga listrik dan minyak.
Kesembilan, pemerintahan Rakyat Miskin. Pemerintahan Rakyat Miskin adalah pemerintahan yang selanjutnya akan menjalankan program-program demokrasi dan kesejahteraan yang berpihak bagi rakyat miskin. Pemerintahan yang dibangun, dijalankan, dikontrol, dipertahankan, dan diabdikan bagi kesejahteraan dan demokrasi rakyat miskin. Mengapa? Karena rakyat miskin adalah mayoritas yang tertindas dan di eksploitasi oleh Agen Imperialisme dan Imperialisme. Pemerintahan Rakyat Miskin merupakan jalan keluar dari kebangkrutan pemerintahan borjuis, ketidaksanggupannya menyediakan kesejahteraan dan demokrasi bagi rakyat dan ketertundukkannya kepada Kekuasaan Modal Imperialisme. Maka dari itu, program-program ekonomi-politik yang berpihak pada rakyat miskin tidak dapat di titipkan kepada pemerintahan borjuis yang berwatak komprador dan tunduk pada imperialisme. Watak/karakter dari Pemerintahan Rakyat Miskin, adalah: Anti Imperialisme, Demokratik, Kerakyatan, Ekologis, Merdeka, Modern dan Ekologis. Dengan watak ini maka komposisi dari kekuatan dalam Pemerintahan Rakyat Miskin antara lain: Buruh, Petani, Mahasiswa dan Intelektual Progressif, Kaum Miskin (desa dan kota).
Pemerintahan Rakyat Miskin merupakan hasil dari persatuan gerakan rakyat yang melawan Imperialisme dan menggantikan kekuasaan pemerintahan agen imperialis. Pemerintahan Rakyat Miskin juga merupakan alternatif dari sistem demokrasi borjuis (Trias Politica) dengan mendasarkan pada sistem demokrasi kerakyatan. Demokrasi kerakyatan adalah alternatif dari segudang kebobrokan demokrasi borjuis: ketiadaan partisipasi publik, lemahnya kontrol rakyat, pemilahan-milahan fungsi pembuat kebijakan dengan pelaksanaan dan pengontrol kebijakan. Demokrasi kerakyatan adalah demokrasi yang meletakkan beberapa prinsip utama yang menentukan dalam bentuk dan mekanismenya, antara lain: Pertama, partisipasi seluruh rakyat dalam membuat, melaksanakan, mengontrol kebijakan. Kedua, kepentingan bersama diatas kepentingan individu. Ketiga, penyatuan kebijakan ekonomi, politik dan sosial. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, Pemerintahan Rakyat Miskin adalah badan organisasi yang berfungsi sebagai eksekutif, legislatif, yudikatif maupun pertahanan negara—sehingga yang akan dikenal dalam konsep pertahanan adalah Rakyat Tentara[28]. Sehingga efektifitas dalam pembuatan kebijakan (Politik) dan pelaksanaan kebijakan (Sosial dan Ekonomi) akan berjalan maksimal.
Dalam Pemerintahan Rakyat Miskin tidak ada lagi satu bagian dari masyarakat yang membuat kebijakan (kerja mental) tanpa menjalankan (kerja manual) dan mengontrol kebijakan tersebut. Sehingga setiap individu memiliki kesetaraan posisi dalam kerja yang selanjutnya menghasilkan suatu kerja bersama berdasarkan kepentingan kolektif bukan kompetisi—seperti dalam masyarakat kapitalisme. Hasil dari kerja bersama untuk kepentingan kolektif ini selanjutnya mensituasikan suatu kesadaran/kebudayaan maju, kesadaran/kebudayaan kerjasama. Kemudian tidak ada lagi pemisahan antara negara dan masyarakat. Setiap individu adalah bagian dari negara yang terlibat aktif dalam membuat, menjalankan, mengontrol kebijakan karena itu intisari dari demokrasi kerakyatan atau partisipasi.
1. Pasal 16: Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat(2) dilakukan secara terpisah oleh badan usaha yang berbeda.
2. Pasal 17 ayat 3: Larangan penguasaan pasar sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 meliputi segala tindakan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, antara lain meliputi: Menguasai kepemilikan, menguasai sebagian besar kapasitas terpasang pembangkitan tenaga listrik dalam satu wilayah kompetisi, menguasai sebagian besar kapasitas pembangkitan listrik pada beban puncak, menciptakan hambatan masuk pasar bagi badan usaha lainnya, membatasi produk tenaga listrik dalam rangka mempengaruhi pasar, melakukan praktek diskriminasi, melakukan jual rugi dengan maksud menyingkirkan usaha pesaingnya, melakukan kecurangan usaha dan atau melakukan persekongkolan dengan pihak lain.
3. Pasal 68: Pada saat Undang-undang ini berlaku, terhadap Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dianggap telah memiliki izin yang terintegrasi secara vertikal yang meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik dengan tetap melaksanakan tugas dan kewajiban penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sampai dengan dikeluarkannya Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik berdasarkan Undang-undang ini.
[21] PP NO 26/2006, merupakan perubahan dari PP No 3/2005 dan PP No 10/1989 tentang penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik.
[22] Penyediaan listrik selanjutnya menjadi tanggungjawab Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPEPTAL) untuk wilayah kompetisi dan Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri untuk wilayah non-kompetisi.
[23] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah.
[24] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah.
[25] Provinsialisme dan Sukuisme semakin diberikan tempat berkembang ketika proyek desentralisasi dan dekonsentrasi melalui otonomi daerah dikembangkan secara besar-besaran. Pandangan multikulturalisme dan pluralisme tidak akan pernah terwujud apabila konsep ekonomi dan karakter politiknya penuh dengan pengaruh Neoliberalisme.
[26] Dalam undang-undang Perimbangan Pendapatan Pusat dan Daerah Pasal 6 porsi pendapatan untuk daerah jauh lebih besar sehingga mengakibatkan: 1. capital yang didapat tidak sepenuhnya bisa maksimal untuk mengembangkan daerah lainnya (yang miskin) dan juga pembangunan industri hulu Listrik. 2. capital yang didapat dominannya dikorupsi, ini mengakibatkan semakin berkembangnya kapitalis birokrat,yang kedepannya tidak menguntungkan bagi perkembangan perusahaan negara.
[27] Handbook Statistics Economy Energi of Indonesia 2005.
[28] Rakyat Tentara adalah konsep dimana rakyat sendiri yang berfungsi sebaga kekuatan pertahanan dan penyerangan. Adapun tentara reguler jumlahnya sangat sedikit, dan fungsinya untuk melatih rakyat belajar kemiliteran ataupun mengawal pejabat pemerintahan dan penjagaan gudang makanan dan persenjataan. Konsep rakyat tentara ini dimaksudkan agar semakin kecilnya peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dengan memanfaatkan tentara reguler. Semakin tinggi kesadaran politik rakyat baik dalam membuat, mengontrol dan mempertahankan negara maka akan semakin sempit peluang kekuasaan akan melenceng.












BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Di Indonesia
Jakarta (16/10/2012)- Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan salah satu pilihan dalam rangka memenuhi kebutuhan energi nasional yang terus meningkat. Sedangkan pilihan yang lain, yakni pemanfaatan energi baru terbarukan, seperti tenaga panas bumi, tenaga angin, tenaga surya, tenaga air, biomassa dan hydrokinetic energy (pemanfaatan air laut untuk energi), yang sampai saat ini belum dioptimalkan.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi yang terus meningkat, khususnya untuk keperluan sektor industri, usaha, kebutuhan listrik perkotaan dan pengembangan wilayah seiring dengan pertumbuhan ekonomi, maka pembangunan PLTN di Indonesia perlu dipertimbangkan menjadi pilihan. Untuk itu, pembangunan PLTN guna memenuhi kebutuhan industri harus dipersiapkan dari sekarang. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik sebagai komplementer, dapat dikembangkan pembangkit listrik tenaga dari energi baru terbarukan, seperti panas bumi, air dan matahari.
Permasalahan pembangunan PLTN masih menjadi perdebatan oleh para ahli. Wacana tersebut telah berubah tidak hanya menjadi masalah energi, tapi juga masalah sosial. Sementara, pemerintah belum menentukan sikap berkaitan dengan kebijakan pasokan energi listrik dari PLTN.
3.2 Potensi Energi Nasional
Anggota Dewan Energi Nasional yang juga merupakan Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Ir. Rinaldy Dalimi, M.Sc. Ph.D berpendapat pihaknya tidak menentang atau berantipati dengan PLTN, namun beberapa faktor yang perlu menjadi pertimbangan dalam membangun PLTN di Indonesia antara lain potensi energi Indonesia, kondisi geografis Indonesia, keekonomian PLTN, penguasaan teknologi, kebijakan energi nasional, keamanan masyarakat/negara dan lingkungan strategis.
Potensi energi nasional yang melimpah ruah memang tidak diragukan, terutama energi terbarukan yang sangat bervariatif. Namun, sejauh ini belum dimanfaatkan secara optimal. Besaran energi terbarukan di Indonesia dipetakan sebagai berikut : (a). Tenaga air diperkirakan: 75,67 Giga Watt (GW);  (b). Panas bumi: 28,00 GW; (c).Biomassa: 49,81 GW; (d). Energi laut (Hydrokinetic Energi): 240,00GW dan (e). Matahari (6-8 jam/hari): 1200,00 GW. Disisi lain juga terdapat potensi energi fosil, seperti batubara (104 Miliar Ton) dan gas bumi (384,7 TSCF) yang cenderung produksinya saat ini diekspor sebagai sumber pendapatan negara. Disamping itu, Indonesia juga dikenal sebagai penghasil minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia, dimana CPO dapat dijadikan sebagai Biofuel.
Besarnya potensi sumber daya energi baru yang berasal dari energi laut, biomassa dan surya sangat prospektif dan menjanjikan. Tetapi yang terjadi sebaliknya, krisis energi listrik semakin menghantui Indonesia. Krisis energi listrik yang terjadi  bukan disebabkan Indonesia tidak mempunyai sumber daya energi primer, namun lebih disebabkan karena belum melakukan tata kelola energi yang tepat, baik dan benar untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut .
Apabila PLTN menjadi pilihan di tengah ancaman krisis energi, maka pemerintah perlu memperhatikan studi keekonomian energi listrik yang dihasilkan oleh PLTN. Studi keekonomian PLTN yang pernah dilakukan oleh Keystone Center 2007 di Amerika menunjukan bahwa biaya konstruksi pembangunan PLTN bervariasi antara US$ 3600-4000/KW dengan harga listrik antara US$ 8-11 cents/KWH. Sementara, studi yang dilakukan oleh Standard & Poor's and Moody's, mendeskripsikan biaya konstruksi PLTN sebesar US$ 5000-6000/KW. Sedangkan berdasarkan beberapa kontrak PLTN di Amerika dengan menggunakan type Advanced Passive - AP 1000 diperlukan investasi sebesar US$ 5000/KW. Apabila biaya decommissioning dan biaya pengolahan limbah uranium dimasukan sebagai biaya investasi, maka harga listrik PLTN pada tahun 2008 adalah sebesar US$ 7000/KW, dan harga energi listriknya sebesar U$ 8-11cents/KWH. Sedangkan harga pada 2020 diperkirakan akan meningkat dua kali lipatnya (Moody’s Corporate Finance).
Sebagaimana diketahui, Indonesia telah memiliki Pusat Reaktor Atom pertama di Bandung, yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 1965. Dengan fasilitas Reaktor Penelitian tersebut, maka berdasarkan UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,  Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)  dapat menyelenggarakan penelitian dan pengembangan produksi bahan baku untuk pembuatan dan produksi bahan bakar nuklir. BATAN sudah mampu melakukan rekayasa isotop dan hasilnya telah diekspor ke berbagai negara untuk keperluan industri peralatan pencuci darah, pengembangan padi varietas unggul, dan lain-lain. Saat ini Indonesia belum memproduksi uranium dan belum mendapat ijin untuk melakukan pengayaan uranium sebagai bahan bakar nuklir.
Kebijakan Energi Nasional  2010-2050  yang  dikeluarkan Kementerian ESDM maupun Rencana Umum Pembangunan Tenaga Listrik sampai 2025 belum menyebutkan adanya rencana pembangunan PLTN. Dalam UU No. 10 Tahun 1997, BATAN ditugaskan untuk menguasai teknologi produksi uranium sebagai bahan baku untuk bahan bakar nuklir. Namun ironisnya  apabila PLTN dibangun di Indonesia, maka uranium tersebut harus diimpor. Hal ini menambah ketergantungan Indonesia dengan negara lain.
Pembangunan PLTN di Indonesia harus memperhatikan kondisi geografis Indonesia yang beresiko tinggi, karena terletak di daerah gempa dan pada “Ring of Fire”. Disamping itu, instalasi PLTN juga menjadi titik terlemah dari serangan musuh dan kegiatan sabotase. Dalam konteks keamanan negara, instalasi PLTN perlu diinformasikan dengan rinci dan apa adanya tentang resiko apabila terjadi bencana nuklir (penguasaan teknologi, ketergantungan dengan negara lain, bahaya radiasi yang dapat meresahkan masyarakat, boikot negara lain, kondisi daerah bencana, SDM yang stabil secara emosional dan variabel lainnya).
Setelah bencana Fukushima terjadi beberapa bulan lalu, dunia mengeluarkan dana  penelitian yang besar untuk mempercepat pembangunan energi baru terbarukan, karena dunia meyakini bahwa energi tersebut merupakan energi masa depan yang tidak beresiko terhadap kehidupan. Diprediksi pada tahun 2030 harga energi baru terbarukan sudah akan lebih murah dari harga energi fosil dan nuklir, sehingga dunia akan beralih secara bertahap dari energi fosil ke energi baru terbarukan. Indonesia mempunyai potensi energi fosil yang cukup untuk menunggu keekonomian energi baru terbarukan tersebut, sehingga tidak perlu membangun PLTN.
Pembangunan PLTN merupakan pilihan, karena Indonesia mempunyai sumber energi lain yang lebih murah dan tidak beresiko tinggi dengan memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara optimal. Dengan demikian, PLTN bukan menjadi pilihan utama dalam memenuhi kebutuhan energi Indonesia.
Pandangan serta pendapat yang menyarankan PLTN bukan dijadikan sebagai pilihan utama, bukan semata-mata menyiratkan penolakan pembangunan PLTN. Namun, dalam hal ini yang perlu menjadi penekanan bagaimana pemerintah dan masyarakat perlu mendapatkan informasi yang benar sebagai bahan pertimbangan secara komprehensif untuk pengambilan keputusan tentang pembangunan PLTN.
PLTN Untuk Dukung Stabilitas Pasokan Listrik
Dalam pandangan Kepala BATAN, Prof. Dr. Djarot Sulistio Wisnubroto, manfaat yang dihasilkan dari penggunaan nuklir lewat pembangunan PLTN antara lain  untuk mendukung stabilitas pasokan energi listrik, mengurangi laju pengurasan energi fosil yang cadangannya sangat terbatas, dan mendukung pengurangan dampak akibat pemanasan global.
Energi listrik dari reaktor nuklir merupakan bagian dari sistem bauran energi yang optimal (optimum energy mix) simbiotik - sinergistik dengan energi fosil dan terbarukan lainnya dalam memenuhi kebutuhan energi nasional.
Pada masa lalu penguasaan teknologi nuklir merupakan hal yang sensitif karena berkaitan erat dengan “senjata nuklir”, hal tersebut disebabkan oleh isu pengkayaan uranium dan olah ulang bahan bakar  uranium tersebut. Sebagai contoh, dengan memiliki kemampuan pengkayaan uranium U235 di atas 20%, berarti negara tersebut kemungkinan mampu membuat "senjata nuklir". Sedangkan kebutuhan uranium untuk PLTN hanya membutuhkan pengkayaan uranium sekitar 3 sampai dengan 4 %.
Pada era 1970 – 1990-an, BATAN melakukan penelitian terhadap teknologi pengkayaan dan olah ulang uranium, baik yang dilakukan di dalam maupun luar negeri, sehingga sumber daya manusia BATAN dapat menguasai IPTEK ketenaganukliran. Namun ketidakjelasan program pembangunan PLTN ke depan dan adanya inspeksi International Atomic Energy Agency (IAEA) secara berkala yang meminta rincian program nuklir di Indonesia, menyebabkan program dan  kegiatan penelitian nuklir untuk PLTN menjadi surut.
Indonesia memiliki potensi mineral radioaktif seperti uranium, yaitu di Kalan dan Kawat (Kalimantan) dengan total potensi sebesar 34.863 ton U3O8 . Disamping itu, juga terdapat di 20 daerah sumber daya spekulatif berindikasi memilki potensi yang tersebar di beberapa pulau, siap ditingkatkan menjadi sumber daya potensial. Sedangkan sumber daya potensial  bahan baku nuklir  berupa thorium, terdapat di daerah Bangka-Belitung dan sekitarnya, dengan total potensi di Bangka Selatan sebesar 5.487 ton. Belum lagi terdapat potensi lainnya yang berada di dasar laut.
Adanya laju pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang sebanding dengan meningkatnya kebutuhan energi, maka pemerintah Indonesia bermaksud menerapkan bauran energi secara optimum dari berbagai sumber energi,  salah satunya yang memungkinkan dari PLTN. 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 20 September 2011  menandatangani Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan Bali Action Plan pada Conference of Parties United Nations Climate Change Convention (COP UNFCCC) ke-13 di Bali, Desember 2007. Untuk memenuhi komitmen pemerintah Indonesia yang secara sukarela menurunkan emisi GRK 26% dengan usaha sendiri, atau mencapai 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020.
Berdasarkan Undang-Undang No 17 Tahun 2007, pada RJPN 2005-2025 dan Keputusan Presiden No.5 Tahun 2006, mentargetkan bauran energi sampai tahun 2025 dengan kontribusi nuklir 2% dari energi primer atau 4% listrik (4.000 MWe). Berdasarkan regulasi yang ada, maka diharapkan Indonesia dapat membangun  2 unit PLTN. Unit pertama direncanakan dapat beroperasi sebelum 2020 untuk memenuhi kebutuhan bauran energi nasional, sehingga secara strategis jangka pendek kebutuhan energi terpenuhi dan secara jangka panjang efektif dan efisien. Namun sampai sekarang masih terjadi pro-kontra, baik di kalangan para pakar maupun di masyarakat awam, tentang perlu tidaknya PLTN dibangun di Indonesia .
Kegiatan yang dilakukan oleh BATAN di daerah Bangka-Belitung merupakan studi kelayakan terhadap kemungkinan, bila suatu saat wilayah Bangka-Belitung dijadikan tapak PLTN. BATAN sendiri tidak memiliki wewenang membangun PLTN. Namun sebagai lembaga riset, BATAN mempunyai kewajiban melakukan penelitian pendahuluan untuk mempersiapkan bahan kebijakan pemerintah dalam memutuskan pembangunan PLTN. Dalam kegiatan studi tapak dan penelitian tersebut,  BATAN menghadapi resistensi dari masyarakat di Bangka-Belitung.
Pembangunan PLTN merupakan salah satu opsi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Memang, pembangunan PLTN di Indonesia beresiko tinggi. Oleh karena itu, sebelum keputusan diambil pemerintah perlu mempertimbangkan semua aspek secara komprehensif, bukan hanya aspek teknis tetapi juga aspek sosial ekonomi keamanan masyarakat, lingkungan strategis dan potensi ancaman teroris serta sabotase.
Pembangunan PLTN sebagai salah satu opsi untuk memenuhi kebutuhan energi  perlu dipertimbangkan, mengingat keperluan energi nasional terus meningkat, rencana pembangunan PLTN perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Pemerintah juga perlu mendapat masukan dan memperoleh data-data yang obyektif tentang semua aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum membangun PLTN. Sebagai persiapan membangun PLTN, pemerintah perlu menetapkan salah satu kementerian atau BUMN sebagai penanggung jawab.














BAB IV
 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan:
1.      Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan saat ini tanpa perlu merusak atau menurunkan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2.      Pembangunan berwawasan lingkungan yang memerhatikan keberlanjutan lingkungan hidup memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menjamin Pemerataan dan Keadilan.
2.      Menghargai Keanekaragaman Hayati
3.      Menggunakan Pendekatan Integratif
4.      Menggunakan Pandangan Jangka Panjang
  1. Bahwa hambatan dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, keamanan dan ketertiban, dan sebagainya.
  2. Bahwa masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di suatu kawasan tertentu memperlihatkan bahwa kawasan itu sedang dalam proses tidak berkelanjutan.
  3. Kemiskinan dan fungsi-fungsi lingkungan hidup yang telah hilang atau rusak, tercemar, itu merupakan ancaman terhadap proses pembangunan berkelanjutan. Ancaman tersebut tidak hanya terjadi di kawasan itu saja, tetapi juga akan mempengaruhi sub-sub sistem lain yang membentuk kawasan itu


4.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka adapun saran bagi pemerintah agar dapat menerapkan sistem pembangunan yang berkelanjutan seperti di negara-negara maju lainnya dengan jalan menanggulangi kemiskinan serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta keamanan dan ketertiban guna menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya di Indonesia sehingga dapat dirasakan bukan hanya untuk di masa sekarang melainkan juga untuk generasi yang akan datang.